Minggu, 28 September 2008

Mungkinkah Jarum Jam Otoriter Kembali?


Selasa, 23 September 2008 - 19:38 wib

Endang Purwanti - Okezone


Masih segar dalam ingatan kita, ketika gemuruh suara aktivis mahasiswa mengepung DPR/MPR pada 1998 lalu. Lengkingan teriakan mundur untuk Soeharto, sang presiden 'abadi' di republik ini berhasil membuat tirani orde baru rubuh.

Aksi mahasiswa ini mengulang sejarah bangsa pada 1966 lalu. Ketika republik yang dikuasai pemimpin diktator, Soekarno bersama para pembantu setianya membuat tembok gading sehingga kekuasaan tak bisa disentuh rakyat. Padahal, rakyatlah yang memberi mandat kepada pemimpin.

Tak heran jika mahasiswa sebagai penyambung lidah rakyat bangkit marah, tak percaya lagi dengan lembaga eksekutif dan legislatif yang seharusnya menjadi wakil mereka dalam menjalani roda pemerintahan. Sebab bukan tak berdasar, saat tiran berkuasa, sudah menjadi rahasia umum bila institusi yang disebut wakil rakyat ini kerjanya hanya "tidur" karena bekerja untuk sang presiden dengan dalih asal bapak senang, tanpa memperhatikan nasib wakil mereka.

Akhirnya, mau tak mau, aktivis mahasiswa pun menyingsikan tangan berdiri melawan menegakan hak-hak rakyat yang telah terlupakan oleh eksekutif dan legislatif. Dan rezim Soekarno pun runtuh berganti rezim Soeharto.

Kisah ini kemudian berulang dan berulang. Rezim Abdurahman Wahid pun turut mencicipi 'ulah' aktivis mahasiswa ini, sehingga ia lengser dari Istana Negara.

Dan saat roda waktu berputar untuk semua moment yang menimpa rakyat, pada akhirnya aktivis mahasiswa selalu terdepan menyuarakan rakyat. Sebab terbukti, wakil rakyat mereka di legislatif bak macan ompong.

Namun, hari-hari kemesraan antara mahasiswa dan aktivis dengan pemerintah sebagai pihak terkritik ternyata tidak abadi. Sejak 2007 lalu, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla mulai memperlihatkan taringnya.

Para mahasiswa dan aktivis yang melakukan aksi demo, kemudian diciduk polisi. Kasus yang paling mencolok adalah ketika mahasiswa dan aktivis berdemo untuk memprotes naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) pada Mei lalu kepada pemerintah.

Polisi menangkap beberapa aktivis mahasiswa yang tergabung dalam Temu Alumni Lintas Generasi (tali Geni) saat melakukan aksi menolak BBM. Beberapa diantaranya hingga kini masih ditahan di Polda Metro Jaya.

Penahanan selanjutnya dilakukan polisi terhadap Sekjen Komite Bangkit Indonesia (KBI) Ferry Juliantono (FY). FY kemudian menjadi tersangka sebagai otak aksi demo penolakan kenaikan BBM berakhir rusuh di depan DPR, 24 Juni lalu.

Ketua Umum KBI Rizal Ramli juga menjadi sasaran polisi selanjutnya. Bahkan, Rizal yang semula hanya menjadi saksi pada kasus FY, oleh Bareskrim Mabes Polri kini sudah diarahkan sebagai tersangka.

Bahkan, Rieke 'Oneng' Dyah Pitaloka, aktivis yang juga bersuara keras, sejak Senin 22 September dan pada 25 September mendatang akan diperiksa Bareskrim sebagai saksi pada kasus kenaikan BBM.

Hal tersebut tentu membuat para aktivis gerah. Juru bicara Tali Geni sebelumnya mengatakan, kondisi yang diciptakan SBY-Jk mulai mengarah pada otoriter. Artinya, reformasi yang telah berjalan sejak 10 tahun lalu, mulai akan dibungkam kembali.

Rizal Ramli dalam pertemuannya dengan tokoh reformasi Amien Rais berceloteh bahwa embrio pemerintahan otoriter kembali lagi.

"Istilah kami 'baby orba'," kata Rizal di kediaman Amien Rais, Komplek Taman Gandaria Blok C Nomor 1, Jakarta Selatan, Selasa (23/9/2008).

Tetapi, memang cukup dimaklumi ketakutan yang dihadapi para aktivis ini. Sebab, dalam rumusan yang terukir pada buku sejarah negara-negara, arah putaran jarum sejarah dimungkinkan akan kembali setelah beberapa dekade pemerintahan yang berlangsung. Termasuk setelah mencicip sistem liberalisme.
(enp)

Tidak ada komentar: