Minggu, 31 Agustus 2008

Partai Politik Dan Dinasti Keluarga

(Media Indonesia)

Membaca berita politik di surat kabar akhir-akhir ini membuat saya sedih, gundah, dan marah. Semua perasaan itu bercampur aduk menjadi satu karena satu pokok persoalan: pencalonan anggota legislatif mengganggu jalannya proses demokrasi. Tidak saja dalam daftar penyusunan caleg, partai masih mempertahankan elite-elite lama, tetapi juga mengikutsertakan sejumlah kerabat (keluarga) dari para petinggi partai, pengusaha, mantan pejabat, dan pejabat yang sedang berkuasa. 


Anak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Edhi Baskoro, menjadi caleg dari Partai Demokrat. Puan Maharani, anak mantan Presiden Megawati dicalonkan dari PDIP. Dave Laksono, anak Ketua DPR Agung Laksono, menjadi caleg dari Partai Golkar. Agus Haz, putra mantan Wakil Presiden Hamza Haz, caleg PPP. Ikrar Fatahilah, putra AM Fatwa, dicalonkan PAN, dan masih banyak lagi daftar nama kerabat dekat para penguasa, pengusaha, dan elite partai. 

Apa yang menyebalkan dari fenomena ini? Ini makin menegaskan bahwa kekuasaan politik memang memabukkan. Kekuasaan ibarat candu. Celakanya, sirkulasi kekuasaan hendak diputar di lingkungan kerabat (keluarga). 

Lalu apa motif utama mereka menyambung tradisi berkuasa? Sekadar mengabdi kepada rakyat? Saya kira kita patut ragu. Bisa jadi motifnya sangat diwarnai kehendak memperpanjang gerbong kapitalisme keluarga. Kekuasaan menjadi instrumen untuk melobi proyek, memuluskan negosiasi, mempermudah akses ekonomi, dan meraup keuntungan sebesar-besarnya sehingga yang kemudian terbangun adalah dinasti keluarga. Ini cara yang salah, sehingga Pemilu 2009 nyaris tidak akan membawa perubahan berarti. Karena pemilu bukan menghasilkan wakil rakyat yang serius berjuang untuk rakyat, tapi sebaliknya: hanya bernafsu meneruskan tradisi kekuasaan keluarga. 

Mestinya, kriteria rekrutmen politik didasarkan pada pertimbangan yang berimbang: kemampuan personal, jejaring, dan kaderisasi. Tiga unsur utama ini harus menjadi patokan seseorang direkrut menjadi calon wakil rakyat. Bukan karena faktor kedekatan, uang, apalagi sekadar pertimbangan keluarga. Sebab, partai politik bukan perusahaan keluarga sehingga bisa dengan enteng mewariskan kedudukan dari ayah ke anak, atau dengan muda menempatkan kerabat dalam posisi-posisi strategis. 

Ini namanya pembajakan demokrasi karena cara pengelolaan partai seperti mengurus perusahaan keluarga. Di negara-negara demokrasi baru seperti kita, tak jarang partai politik menjadi biang kerok bagi proses demokratisasi. Para teoretisi demokrasi selalu menjadikan partai politik sebagai sumbu atau poros politik. Tak lain dan tak bukan karena dalam mekanisme sistem perwakilan politik, partai politik adalah sarana rekrutmen. Namun di sinilah persis masalahnya. Partai politik kerap terjebak pada oligarki dan hegemoni. 

Sejak satu dasawarsa proses demokratisasi berlangsung, kita harus memberi garis bawah dengan tinta tebal: partai politik berpotensi membajak transisi demokrasi. Asumsi dasarnya tiga. Pertama, partai politik dikepung oleh kepentingan pribadi, kelompok, dan kerabat. Kedua, partai politik bukan memutus rantai korupsi tapi menyambung dan menyuburkan perilaku koruptif para elite politik. Dan ketiga, partai politik sekadar sarana berkuasa. Akibatnya, rakyat tidak menaruh kepercayaan dan harapan kepada partai. Padahal, salah satu kunci mempercepat transisi demokrasi adalah memberikan kekuasaan kepada elite-elite partai yang bermoral, berdedikasi, berkomitmen, dan berkemampuan. Bukan malah menjadikan partai sebagai instrumen dinasti keluarga. 

Ketika Eropa Timur melakukan transformasi politik dari komunisme ke demokrasi sejak tahun 1989, Paul G Lewis dalam Political Parties in Post-Communist Eastern Europe, 2000, tidak sepenuhnya meyakini bahwa partai politik bisa mempercepat gerak transisi. Studi itu dilakukan di 19 negara Eropa Timur, seperti Polandia, Bulgaria, Hongaria, Ukraina, Moldova, Republik Ceko, dan sebagainya. Hasil yang tunjukkan tidak jauh beda dengan situasi politik yang saat ini kita rasakan. Menyerahkan sepenuhnya proses demokratisasi kepada partai politik sama artinya dengan membiarkan perusakan demokrasi. Karena dalam kondisi tertentu, partai bisa membelokkan proses politik demokratis ke yang tidak demokratis. Itu sudah mulai tampak gejalanya. Partai dikepung oleh kultur dinasti keluarga. 



Oleh Abdul Gafur Sangadji, Analis dan dosen FISIP UI, Jakarta 

Tidak ada komentar: