Jumat, 29 Agustus 2008

Masalah yang Muncul Bukan karena Perubahan UUD 1945


Jakarta, Kompas - Mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Amien Rais menegaskan, sejumlah masalah bangsa Indonesia saat ini tidak disebabkan oleh perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Sebaliknya, perubahan itu justru makin menguatkan cita-cita para pendiri bangsa.

”Jika ada yang berkata, gara-gara perubahan (UUD 1945) Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bisa pecah, itu tidak benar,” kata Amien dalam acara Young Leader Forum, Rabu (27/8) di Jakarta.

Pembicara lain adalah pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada, Sri Adiningsih, dan pengamat moneter Iman Sugema.

Saat kepemimpinan Amien pada 1999-2004, MPR mengubah UUD 1945 hingga empat kali. Hasil perubahan pertama ditetapkan 19 Oktober 1999, perubahan kedua ditetapkan 18 Agustus 2000, hasil perubahan ketiga ditetapkan 9 November 2001. Adapun hasil perubahan keempat ditetapkan 10 Agustus 2002.

Sejumlah pihak merasa, keempat perubahan itu telah memunculkan sejumlah masalah bangsa, seperti ancaman disintegrasi. Sistem pemerintahan juga dinilai menjadi tidak jelas, campuran antara parlementer dan presidensial.

Menurut Amien, dalam perubahan UUD 1945 ditegaskan, NKRI merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar. Jadi, kekhawatiran bahwa perubahan itu mengancam integrasi, dinilainya tidak beralasan.

Isi Pasal 33 Ayat 4 yang merupakan hasil perubahan keempat UUD 1945, lanjut Amien, justru menghimpun cita-cita para pendiri bangsa Indonesia di bidang perekonomian. Ayat itu berbunyi: Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

”Kita tidak usah terlalu sering menengok ke belakang. Negara ini tidak akan bubar. Ekonomi juga tidak akan ambruk seluruhnya karena kekayaan alam kita amat banyak. Masalahnya, apa kita mau tetap seperti sekarang, hidup enggan mati tidak mau?” tanya Amien.

Sri Adiningsih berpendapat, ada dua hal yang dibutuhkan Indonesia untuk bangkit. Pertama, memiliki arah kebijakan yang jelas. Ekonomi Indonesia saat ini dinilainya sudah terlalu liberal. ”Kalau perlu kita lakukan moratorium liberalisasi. Buat masyarakat memahami liberalisasi dan tingkatkan daya saing. Juga hanya buka keran liberalisasi yang menguntungkan kita,” ucapnya.

Langkah kedua, menyusun kebijakan untuk perspektif jangka panjang. Elite politik saat ini umumnya hanya memikirkan kebijakan jangka pendek, yaitu lima tahun untuk kemudian berusaha dipilih lagi saat pemilu.

Iman Sugema berharap program-program nyata untuk peningkatan kesejahteraan rakyat harus lebih banyak dan beragam. (NWO)
   


Tidak ada komentar: