Kamis, 07 Agustus 2008

Bangsa Kita

Oleh BUDIARTO SHAMBAZY

Apa betul bangsa ini mundur? Pada masa Orde Baru ada seorang pemuda berjalan mundur nonstop dari Jawa Timur sampai Jakarta.

Ia melakukannya dalam rangka Sumpah Pemuda. Agar tak celaka, ia melengkapi diri dengan kaca spion.

Saat finis di depan Kantor Menpora di Senayan, ia diwawancarai wartawan. ”Saya ingin membuktikan kehebatan generasi muda kita,” ujarnya sembari jalan mundur.

Itu gambaran bangsa ini yang tak sadar sedang maju atau mundur? Sebelum menjatuhkan vonis bangsa ini tak maju, ada sejumlah caveat.

Pertama, biasanya 97 persen rakyat merupakan warga yang rajin bekerja. Jika merujuk pada statistik, ada sekitar 97 juta warga rajin di Tanah Air.

Sisa 3 persen, atau sekitar 3 juta orang, adalah elite yang memerintah (the ruling elite) yang sejak dulu terbukti enggan bekerja. Kalau kerja serius, slogan ”Truly Asia” pasti jadi milik Indonesia.

Celakanya, yang 3 juta orang ini yang mengatur napas kehidupan bangsa. Ia terdiri dari para birokrat, kaum intelektual, dan kalangan profesional.

Birokrat jadi titik lemah karena dililit budaya feodalisme. Posisi presiden, menteri, jenderal, atau eselon satu serba salah karena diproteksi durna, aspri, atau ring satu.

Gelar durna pada masa Bung Karno dipegang Pak Soebandrio atau Pak Jusuf Muda Dalam. Pak Harto punya aspri-aspri yang mempraktikkan KISS (Ke Istana Sendiri-Sendiri).

Ring satu sampai kini terkenal amat berkuasa. Seperti birokrat, mereka berprinsip, ”Kalau urusan bisa dibuat susah, kenapa dimudahkan?”

Pendek kata para pejabat tinggi dikelilingi orang-orang yang menganut prinsip public service (publik yang melayani mereka). Kebiasaan publik melayani pejabat terjadi selama puluhan tahun, mulai dari kantor lurah sampai istana.

Penyakit kaum intelektual justru kurang mampu menjaga intelektualitasnya. Biasanya mereka tergoda jadi kutu loncat menjadi politisi, jubir, atau tim sukses yang mesra dengan kekuasaan.

Contohnya KPU versi 2009 yang mengulang apa yang dilakukan KPU versi 2004: belum kerja sudah minta mobil baru. Saya bingung karena keledai saja tak mau terantuk dua kali.

Jangan salah, banyak intelektual yang berjalan lurus di atas relnya sendiri. Tetapi, ya sabar-sabar sajalah kalau mampunya cuma membeli rumah di pinggir rel kereta api.

Mungkin kelompok yang beres adalah kalangan profesional karena berurusan dengan kinerja yang mendatangkan uang. Namun, peranan mereka sebagai penggerak ekonomi kerap dilecehkan.

Oleh para pejabat, mereka dijadikan sapi perah; oleh kaum intelektual, mereka dianggap antek neoliberalisme. Pokoknya profesional justru diperlakukan agar gagal menerapkan profesionalisme.

Hidup memang tak adil karena 3 persen orang menguasai hajat hidup 97 persen rakyat rajin. Itu sebabnya Mao Zedong, Fidel Castro, atau Pol Pot mengerahkan yang 97 persen untuk melindas yang 3 persen.

Caveat kedua, menurut teori Manusia Indonesia ala Mochtar Lubis, kekuatan bangsa ini ada pada seni. Tiap degup jantung kehidupan dikaitkan dengan aspek kesenian (arts).

Seni bersifat longgar karena bisa diimprovisasi. Hidup tak diseriusi karena ia seni yang penuh nuansa, bisa dipetatah-petitihkan, bahkan boleh dibelokkan sesuai kebutuhan.

Itu sebabnya elite yang memerintah menganggap hukum sebagai kesenian. Andai para filsuf dunia bangkit dari kubur, mereka pasti menangis menyaksikan produk mereka dipermainkan.

Entah berapa juta lembar narasi hukum yang dicetak, termasuk yang diperdagangkan DPR bersama pemerintah. Ada ribuan undang-undang (UU) produk pemerintah pusat yang bertentangan dengan yang di berbagai provinsi.

Jangankan hukum, olahraga pencak silat saja ada ”kembang-kembangnya”. Tak mengherankan jika praktik ipoleksosbud di sini melahirkan ratusan cabang kayak pohon beringin raksasa yang angker.

Ideologi Pancasila jelas mengambang karena gampang dilanggar-langgar atau disakti-saktikan. Sistem politiknya multitafsir, tergantung dari siapa yang berkuasa.

Jika kepepet, presiden cari akal lewat dekrit, Supersemar, atau UU Keamanan Nasional. Unsur seni kepemimpinan tampak dari istilah ”ora dadi presiden ora pathéken”, kultur ”gitu aja kok repot”, atau slogan ”Bersama Kita Bisa”.

Sistem ekonominya lebih ngambang lagi karena cara paling mudah mencatut Pasal 33 UUD ’45. Menurut saya, kepanjangan UUD itu lebih pas jadi ”ujung-ujungnya duit”.

Caveat ketiga, watak bangsa ini telanjur jadi penutur sejati. Ada pembaca bertanya mengapa tiap orang malas mengerjakan tugasnya sesuai keahlian?

Jawabannya, tiap orang gemar mencampuri urusan orang lain sehingga tugas utamanya terbengkalai. Pekerjaan yang dijalankan setengah hati menghasilkan karya yang asal jadi.

Maka, tiap orang berkualitas setengah dewa atau jadi makhluk jadi-jadian. Jujur saja, yang namanya makhluk jadi-jadian itu ibaratnya ”ada tetapi tiada” karena ada yang percaya dan ada pula yang tidak percaya.

Nah, jika tiga caveat itu dirangkum, ia menyimpulkan bahwa 97 juta rakyat rajin diapusi elite. Padahal, elite yang sibuk ber-happening arts itu kerjanya ngomong doang.

Itulah yang tiap hari Anda lihat, baca, atau simak di media massa. Oleh sebab itu, rakyat bingung menjawab pertanyaan bangsa ini maju atau mundur?

Supaya afdol, coba apa rasanya berjalan mundur. Baru satu-dua langkah, Anda enggak akan betah walaupun memakai kaca spion.

Tidak ada komentar: