Kamis, 07 Agustus 2008

Ketika Selebriti Berpolitik Kosong

Oleh EFFENDI GAZALI

Makin hari makin banyak artis yang diajak maju di beberapa pilkada dan pemilu legislatif sampai-sampai nama suatu partai dipelesetkan menjadi Partai Artis Nasional. Salah artisnyakah atau salah politisi?

Di Amerika Serikat kebetulan kubu Partai Republik baru saja melancarkan kampanye hitam yang menyamakan calon presiden Partai Demokrat, Barack Obama, dengan selebriti Paris Hilton dan Britney Spears, yang dipungkas dengan pertanyaan sinis ”Is He Ready to Lead?” Iklan Partai Republik berikutnya tak kalah sadisnya, menyamakan pidato Obama yang bergelora dengan seruan Nabi Musa yang diperankan oleh Charlton Heston dalam film The Ten Commandments.

Dalam ilmu komunikasi politik, sesungguhnya definisi selebriti politik adalah tokoh mana pun (baik politisi, artis, maupun hanya orang biasa) yang mampu menyita ruang-ruang media massa—khususnya televisi—dalam perbuatan atau pernyataan yang memiliki akibat politik, khususnya terhadap kebijakan publik. Nah, fenomena itu hanya seperempat bagian dari definisi tersebut. Tiga perempat bagian lain ialah selebriti karena nama klan politik, politisi yang sedang tertimpa kasus negatif, dan siapa pun yang setia memperjuangkan kebijakan publik tertentu (khususnya jika ia mampu melakukan dengan ”politik selebritis”, istilah ini membutuhkan pembahasan terpisah).

Aroma negatif

Seseorang yang terlahir dengan nama belakang Kennedy di Amerika, atau Soeharto dan Soekarno di Indonesia, atau nama klan lainnya akan selalu diwarnai oleh haru biru selebriti politik. Kadangkala tercampur sedemikian rupa antara sisi kehidupan pribadi mereka dan soal akibat politik riil tadi.

Kalau kita mau fokus hanya pada wilayah komunikasi politik, persoalannya terutama apakah pemerintah sungguh- sungguh memberlakukan hukum yang sama (atau sebaliknya diistimewakan) ketika mereka tertimpa suatu kasus. Apakah mereka diperlakukan sama dengan kandidat lain ketika maju dalam pemilu legislatif? Jangan-jangan yang terjadi: sudahlah tak pernah diadili secara tuntas, mereka bahkan berani membuat berbagai partai dan maju dalam pemilu!

Kategori politisi yang mendadak menjadi selebriti karena tertimpa kasus negatif tidak sulit kita rasakan dewasa ini. Khususnya, saat sebagian dari mereka tertangkap tangan oleh KPK atau ketika namanya mulai disebut-sebut ikut menerima dana di persidangan. Sebelum kasus tertentu, nama seorang politikus mungkin jarang termuat di berbagai media! Jadi, kedua kategori selebriti politik ini umumnya cenderung beraroma negatif. Namun, beberapa klan politik dapat pula hidup lumayan elegan serta sikap politiknya tetap ditunggu media, misalnya ketika salah satu anggota klan Kennedy memutuskan mendukung Obama, bukan Hillary!

Lebih diuntungkan 2009

Kategori siapa pun yang setia memperjuangkan kebijakan publik tertentu (dan dengan itu mendapat banyak sorotan media) sebagai selebriti politik adalah definisi yang paling bermanfaat. Yuddy Chrisnandi akan bisa terus berkibar sebagai selebriti politik kalau ia konsisten maju tak gentar menuntut kejelasan tugas, wewenang, kerangka waktu, serta proyeksi pencapaian Panitia Hak Angket (BBM) DPR. Lalu, dari situ baru ia secara paralel menyatakan kesungguhannya untuk menjadi presiden pada Pemilu 2009 ini. Fadjroel Rachman pun demikian. Kalau ia bisa terus, tidak hanya pada aras tekad, tetapi tampil dengan rincian berapa yang akan dituntut dari renegosiasi atau bahkan nasionalisasi tambang-tambang yang merugikan Ibu Pertiwi, maka ia dapat segera kita beri gelar (bernuansa selebriti politik) sebagai ”Chaves Indonesia” atau ”Morales from Bandung/ITB”.

Di banyak negara yang lebih maju proses demokrasinya, kategori selebriti masuk politik sudah sangat banyak diwarnai dengan kategori kesetiaan memperjuangkan kebijakan publik tertentu. Bahkan, sampai berbuat sesuatu ke aras global (lihat Celebrity Diplomacy, Cooper, 2007 atau juga West, 2007). Arnold tidak meloncat begitu saja ke kursi gubernur, selain kontribusi bagi partai, banyak kerja politiknya untuk semacam komisi kesehatan negara. Silakan sebut deretan panjang nama George Harrison, Bob Dylan, Ringo Starr, Billy Preston, Paul Newman, Tonny Randall, Myrna Loy, Leonard Nimoy, John Wayne, Sammy Davis, Jr., sampai Michael J Fox, Mia Farrow, dan Angelina Jolie. Mereka ada yang memang mengejar kursi, seperti Schwarzenegger dan Reagan, tetapi ada juga yang langsung bisa kita sebutkan dedikasi tertentu begitu mendengar namanya (misal: Angelina Jolie soal kelaparan dunia dan adopsi anak, Mia Farrow soal genosida massal).

Pertanyaan bangsa ini sekarang tentu saja berujung pada: apa yang sudah dibuat oleh artis-artis kita secara konsisten dalam konteks kebijakan publik? Pastilah ada juga artis kita yang memiliki kerja politik dan kepedulian yang signifikan pada isu tertentu walau jumlahnya masih segelintir (saya harus menyebut Nurul Arifin, Rieke Dyah Pitaloka, Wanda Hamidah, Dede Yusuf, dan Olga Lidya).

Namun, memang harus diakui, untuk Pemilu 2009 artis-artis akan jauh lebih diuntungkan daripada politisi biasa. West mencatat, politisi biasa tampil sangat perkasa pada awal tahun 1950-an ketika dua pertiga rakyat Amerika percaya kepada pemerintah; sebaliknya selebriti mulai tampil lebih berjaya justru ketika dua pertiga rakyat sedang tidak percaya kepada pemerintah.

Atau dalam bahasa gampangnya: jika politisi tidak mampu memerintah dengan baik, entah itu pada cabang eksekutif, legislatif, dan yudikatif, berarti tidak ada capability barrier bagi artis untuk memasuki ranah Gedung DPR/DPRD, kantor walikota, bupati, dan gubenur! Jika (maaf, andaikan) nantinya sama-sama berjanji kosong dan berprestasi kosong, masih mendinglah publik memilih Wulan Guritno atau Saiful Jamil karena kalau tampil di depan publik mereka kan lebih muda, lebih memikat, bahkan bisa mengajak rakyat dangdutan pula! Namun, kalau rombongan Saiful Jamil mencoba menantang Rustriningsih, saya yakin mereka akan pontang-panting!

Effendi Gazali Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI

Tidak ada komentar: