Jumat, 29 Agustus 2008

Menuju Kepartaian Modern


Oleh Donny Gahral Adian

Gegap gempita calon independen untuk kursi kepresidenan mesti dicermati baik-baik. Di satu sisi ada soal hak konstitusional yang setara atas partisipasi politik. Di sisi lain, alergi politik terhadap partai sebagai mesin partisipasi yang bekerja maksimal.

Dua soal mesti didedah pelan-pelan. Pertama, apakah benar hak konstitusional warga terpangkas oleh kepartaian sebagai representasi politik? Kedua, apakah benar partai tidak bekerja maksimal dalam memompa partisipasi politik warga. Saya cenderung berhati-hati untuk segera memberi jawaban positif.

Kepartaian kita

Dalam kurun demokrasi liberal republik ini (1955-1959), kepartaian adalah keterwakilan. Setiap kelompok ideologis berlomba berpartisipasi lewat kepartaian. Keterwakilan di parlemen adalah kunci bagi keterwakilan ideologis. Apalagi, republik ini dibayang-bayangi sebuah undang-undang dasar yang belum selesai. Semua kelompok berlomba menancapkan wakilnya di parlemen agar punya suara dalam pahatan undang-undang dasar baru.

Ideologi begitu gamblang dan terpilah. Memang ada satu dua yang beririsan. Namun, begitulah demokrasi. Demokrasi senantiasa menyisakan irisan tipis dan tebal nilai-nilai politik. Kejelasan ideologi membuahkan kejelasan kaderisasi. Semua partai tahu apa yang harus dibekalkan pada kader-kadernya Semua kader tahu apa yang mesti diperjuangkan nanti di parlemen. Kader partai berhaluan kiri berjuang memaknai kebebasan beragama sebagai kebebasan untuk memilih agama. Kader partai keagamaan berjuang memastikan agar kebebasan beragama adalah kebebasan setiap pemeluk agama dalam menjalankan syariat masing-masing.

Pada waktu itu, saya membayangkan kampanye yang beragam dalam isu dan soal. Pasar politik yang demikian besar membutuhkan kekhasan dan ketaksebandingan. Berbeda dengan dewasa ini yang mana semua kampanye berbunyi sama. Tak mengherankan partisipasi menurun cukup signifikan. Adagium komunikasi berbunyi, ”Kesamaan dalam bentuk dan isi komunikasi menghasilkan kejenuhan dan apatisme”.

Bulan madu liberal tersebut tidak berjalan lama. Demokrasi terpimpin datang yang tak lama kemudian berganti lagi menjadi totalitarianisme Orde Baru. Dalam Orde Baru segalanya ditundukkan oleh logika ekonomi. Ekonomi yang tadinya adalah pelayan tujuan-tujuan politik sekarang mengebawahkan politik. Politik menjadi transaksional. Pilihan politik terpulang pada apakah jalan di desa tertentu diperbaiki atau tidak.

Noda ekonomi pada kerah politik itu menghasilkan trauma tersendiri. Sistem multipartai yang diberlakukan kembali pascatahun 1998 pun terciprat. Persepsi publik terhadap kepartaian menjadi begitu negatif. Partai dipandang sebagai mesin ekonomi bukan politik. Partai dibangun dengan uang pendonor yang berkepentingan. Nomor urut calon legislatif mewakili nomor urut besaran donasi.

Kaderisasi berjalan tanpa ideologi. Alih-alih membekalkan politik sebagai gugus nilai dan gagasan, kaderisasi semata mendoktrinkan politik sebagai teknik berkuasa. Tak mengherankan, kualitas ideologis anggota parlemen kita begitu lemah. Perdebatan di parlemen tak lebih debat kusir belaka. Politik jauh dari kontestasi. Saat ekonomi menghampiri, perseteruan berubah menjadi jabatan tangan. Yang abadi dalam politik bukan kontestasi, melainkan transaksi.

Harus kepartaian

Partai yang melempem menghasilkan sentimen antipartai yang begitu keras. Seolah segala kebobrokan politik berumah di partai. Sentimen yang sama membuat sebagian kalangan menuntut diperbolehkannya calon independen bertarung di pemilihan presiden 2009. Harapan baru bergantung pada pemimpin baru nonpartai. Sebab, partai sebagai mesin ekonomi belaka tak bisa diharapkan menghasilkan pemimpin harapan.

Hipotesis kebobrokan partai digulirkan oleh persepsi publik yang terekam oleh survei. Survei bersandar pada persepsi yang dapat diombang-ambing oleh bias yang relatif secara ruang dan waktu, apalagi persepsi negatif tersebut diperkuat oleh lonjakan kuantitas partai peserta pemilu. Publik membaca ini sebagai simbol kerakusan dan ketamakan atas kekuasaan belaka. Bukan niatan tulus dalam mengabdi dan berjuang bersandarkan nilai-nilai politik tertentu.

Saya menaruh hormat terhadap upaya realisasi calon presiden independen. Saya menaruh hormat terhadap sikap sebagian kalangan terhadap kepartaian kita. Hanya saya tidak yakin apakah itu semua dapat membebaskan politik dari lilitan ekonomi. Apakah menjadi calon independen tidak membutuhkan biaya? Dari mana datangnya? Kalau donasi pengusaha dianggap haram, jalan satu-satunya adalah iuran anggota. Sayangnya calon independen tidak memiliki partai yang beranggota.

Alih-alih menghujani partai dengan syak-wasangka, lebih baik kita dorong partai kita agar memodernisasi dirinya. Menjadi modern artinya meminimalisasi oligarki dalam partai. Menjadi modern artinya tidak menjadikan calon partai sebagai sapi perahan. Terakhir, menjadi modern artinya mengembalikan partai sebagai mesin politik. Partai adalah institusionalisasi nilai-nilai politik. Partai adalah perjuangan dan kontestasi ideologis bukan jabatan tangan.

Sebagai organisasi politik, partai harus mampu membekali kadernya dengan kecakapan politik (kepemimpinan, pemecahan masalah, analisis, kritisisme dan sebagainya). Di samping itu, kecakapan politik juga harus disertai gugus nilai politik sebagai alasnya. Kader yang memiliki kepemimpinan yang kokoh harus mengerti nilai apa yang harus diperjuangkan melalui kepemimpinannya.

Muluk memang. Sebagian akan berkilah bahwa upaya modernisasi partai membutuhkan waktu yang panjang, sementara republik ini segera membutuhkan pemimpin baru untuk mengatasi pelbagai tantangan di depan mata. Namun, apakah jawabannya melulu harus melalui jalan nonpartai? Saya agak cemas dengan euforia publik mengenai hal tersebut.

Kepartaian modern harus dibangun. Partai harus dipaksa untuk berbenah diri. Oleh karena itu mekanisme electoral threshold harus diberlakukan tanpa tedeng aling-aling. Partai yang sudah berkursi pun tidak otomatis lolos. Partai bobrok akan kehilangan suara yang berbuah hilangnya keterwakilan di parlemen dan eksekutif. Republik ini adalah rumpun organisasi politik yang mesti memiliki fundamen manajemen politik yang kuat. Tanpa itu, mungkin saja pendapat rekan-rekan pejuang independen menjadi benar satu saat nanti. Wallahualam.

Donny Gahral Adian Dosen Filsafat UI
   


Tidak ada komentar: