Kamis, 07 Agustus 2008


Kamis, 7 Agustus 2008 | 03:00 WIB 

JAKARTA, KOMPAS - Mantan Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad menilai regenerasi pemimpin di Tanah Air memang harus dilakukan, tetapi proses regenerasi haruslah berjalan secara alamiah.

Oleh karena itu, ia mengingatkan para pemimpin bangsa Indonesia tidak terperangkap pada dikotomi pemimpin tua dan pemimpin muda.

”Regenerasi harus secara alamiah, bukan karbitan dan bukan dipaksakan. Pemimpin itu tidak bisa diciptakan begitu saja, tetapi ada proses yang panjang,” ujar Mar’ie saat memberi sambutan pada acara peluncuran buku kapita selekta The Indonesian Dream karya Sulastomo, aktivis Gerakan Jalan Lurus, Rabu (6/8) di Jakarta.

Peluncuran buku terbitan Penerbit Buku Kompas itu ditandai dengan penyerahan buku secara simbolis dari Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama kepada Sulastomo. Peluncuran buku bersamaan dengan perayaan Hari Ulang Tahun Ke-70 Sulastomo yang jatuh pada tanggal 6 Agustus 2008.

Selain Mar’ie , tampil memberi sambutan Harry Tjan Silalahi (CSIS) dan mantan Mensesneg Moerdiono. Peluncuran buku dilanjutkan dengan Seminar Gerakan Jalan Lurus dengan tema ”Implementasi Pasal 33 dan 34 UUD 1945” dengan pembicara Sofjan Wanandi, Hazbullah Thabrani, dan Sri-Edi Swasono.

Saat bicara soal regenerasi, Mar’ie sempat mencontohkan perjuangan Barack Obama menjadi pemimpin di Amerika Serikat.

”Orang-orang bicara Obama. Baca baik-baik track record Obama. Obama sudah terjun di politik sejak umur 24 tahun,” ujarnya.

Pada bagian lain, Mar’ie menyatakan keprihatinannya dengan kondisi di Tanah Air. Ia menilai saat ini terjadi perubahan sistem nilai dan paradigma sehingga orang terperangkap pada alur pragmatisme.

Sementara itu, Harry Tjan menilai tulisan Sulastomo mengungkapkan kegelisahan sang penulis atas kondisi bangsa.

Dalam seminar pada sesi berikutnya, Sri-Edi Swasono dan Sofjan Wanandi mengingatkan, kesenjangan ekonomi yang terjadi saat ini dikhawatirkan semakin memperbesar jarak antara orang kaya dan miskin.

”Ini tanggung jawab kita bersama. Bagaimana memperbaiki dan mencari jalan keluar,” ujar Sofjan Wanandi.

Sri Edi menambahkan, Pasal 33 UUD 1945 sesungguhnya adalah benteng nasionalisme Indonesia. ”Dengan pasal tersebut kita menyelamatkan kepentingan nasional, ”katanya.

Ia mencontohkan banyak UU yang lahir tidak berpihak pada kepentingan nasional, termasuk UU Migas. (SON)

Tidak ada komentar: