Kamis, 07 Agustus 2008

Membangun Poros Islam

Oleh Imam Prihadiyoko

Apa yang diinginkan dengan gagasan ini? Sekadar ingin membangkitkan ruh Masyumi yang tetap hidup di alam bawah sadar aktivis dan politisi Islam atau karena menemukan realitas baru yang berusaha hadir dalam kekinian? Apalagi, ghiroh keislaman semakin lama semakin dirasakan kehadirannya.

Adalah Hizbut Tahrir Indonesia yang secara awal mengungkap ide untuk membangun poros Islam. Ide itu digulirkan dalam diskusi rutinnya yang digelar pada pertengahan Juli lalu.

Gagasan membangun koalisi partai Islam atau yang berbasis massa Islam ini juga diungkapkan Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Chozin Chumaidy, meskipun dengan argumentasi yang lebih pragmatis, yaitu untuk membentuk pemerintahan yang lebih kuat dan efektif.

Chozin Chumaidy mengaku partainya memang punya keinginan untuk membangun poros atau koalisi dengan sejumlah partai yang mempunyai kesamaan platform. Usaha itu dimulai dengan mendekati partai Islam atau yang berbasis massa Islam.

Meski diakuinya belum ada usaha yang lebih sistematis dan formal untuk menjajaki usaha itu, ia menargetkan aliansi strategis itu bisa terbentuk setelah pemilu legislatif.

Bagi PPP, keinginan untuk membentuk aliansi strategis ini lebih didasarkan pada ikhtiar untuk mewujudkan pemerintahan yang kuat dan menyelesaikan transisi demokrasi yang sudah berlarut-larut. Itu sebabnya PPP juga mengharapkan pemilihan presiden dilakukan setelah pemilu legislatif. Tujuannya agar partai bisa mengukur kekuatan dan mengajukan presiden yang diharapkan bisa mendapat dukungan mayoritas politik.

Sekretaris Jenderal PPP Irgan Chaerul Mahfiz mengungkapkan pandangan yang sama. Kemungkinan pembangunan poros Islam bisa saja. Apalagi basis ideologinya sama sehingga mempermudah untuk penyesuaian sikap politik, visi, dan misinya, terutama menyelesaikan persoalan-persoalan kemasyarakatan dan bangsa.

Irgan mengungkapkan, aliansi antarpartai Islam seperti itu sudah sering dilakukan, baik dalam pilkada kabupaten/kota maupun provinsi. Bahkan, ketika pemilu presiden tahun 1999, koalisi Islam ini mendukung Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur. Poros Islam ketika itu bukan hanya berhasil menempatkan Gus Dur sebagai presiden, tetapi juga Amien Rais sebagai Ketua MPR.

Satu kelebihan beraliansi parpol Islam adalah mengawal aspirasi umat sehingga tidak terpecah-pecah dan jika dirawat terus, bisa jadi mengarah pembentukan satu parpol Islam. Kalau itu bisa terwujud, keinginan banyak pihak akan ada penyederhanaan partai bisa dimulai oleh partai Islam atau partai berbasis massa Islam.

Tidak mudah

Keinginan Hizbut Tahrir dan PPP, atau keinginan alam bawah sadar umat Islam untuk punya kekuatan politik yang menyatu, tampaknya memang tidak mudah diwujudkan. Apalagi, partai Islam lain juga meragukan efektivitas poros Islam ini.

Ketua Umum Partai Bintang Reformasi Bursah Zarnubi bahkan menolak ide membangun poros Islam tersebut. Menurut dia, usaha itu bukan saja tidak efektif karena hanya simbolis saja, tetapi menimbulkan kekhawatiran terhadap usaha rekonsiliasi nasional.

”Terus terang saya khawatir pembuatan poros Islam ini hanya akan membangkitkan kelompok sebaliknya untuk membangun hal yang sama. Kalau ini yang terjadi, kan sangat merugikan bangsa ini,” ujarnya.

Kekhawatiran yang sama, meskipun dengan alasan berbeda, juga disampaikan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring. Menurut dia, usaha membangun poros Islam itu justru bisa kontraproduktif. Ada kekhawatiran muncul lagi pengotak-kotakan masyarakat berdasarkan kekuatan ideologi nasionalis dan agama. Agama ini pun lebih ditujukan kepada Islam. Jadi, polarisasi nasionalis dan Islam bisa muncul lagi jika poros Islam dibangkitkan.

Padahal, menurut Tifatul, PKS menyadari kekuatan partai Islam atau partai yang berbasiskan massa Islam jumlahnya masih lebih kecil ketimbang pendukung partai-partai nasionalis.

”Saya terus terang khawatir, meskipun setuju saja jika memang aliansi strategis partai Islam ini dibangun. Namun, harus diiringi dengan sejumlah aksi yang konkret,” ujarnya.

Meski demikian, Tifatul masih tetap meyakini bahwa presiden dan wakil presiden haruslah menggabungkan representasi kekuatan nasionalis-Islam, Jawa-non Jawa, dan sipil-militer.

”Tanpa gabungan representasi kekuatan ini, rasanya sangat sulit untuk membangun kekuatan politik yang bisa memenangi pemilihan presiden dan wakil presiden mendatang,” ujarnya.

Apakah ini menjadi semacam proses bagi pendewasaan umat Islam, hanya sejarahlah yang akan membuktikannya.

Tidak ada komentar: