Minggu, 31 Agustus 2008

Partai Politik Dan Dinasti Keluarga

(Media Indonesia)

Membaca berita politik di surat kabar akhir-akhir ini membuat saya sedih, gundah, dan marah. Semua perasaan itu bercampur aduk menjadi satu karena satu pokok persoalan: pencalonan anggota legislatif mengganggu jalannya proses demokrasi. Tidak saja dalam daftar penyusunan caleg, partai masih mempertahankan elite-elite lama, tetapi juga mengikutsertakan sejumlah kerabat (keluarga) dari para petinggi partai, pengusaha, mantan pejabat, dan pejabat yang sedang berkuasa. 


Anak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Edhi Baskoro, menjadi caleg dari Partai Demokrat. Puan Maharani, anak mantan Presiden Megawati dicalonkan dari PDIP. Dave Laksono, anak Ketua DPR Agung Laksono, menjadi caleg dari Partai Golkar. Agus Haz, putra mantan Wakil Presiden Hamza Haz, caleg PPP. Ikrar Fatahilah, putra AM Fatwa, dicalonkan PAN, dan masih banyak lagi daftar nama kerabat dekat para penguasa, pengusaha, dan elite partai. 

Apa yang menyebalkan dari fenomena ini? Ini makin menegaskan bahwa kekuasaan politik memang memabukkan. Kekuasaan ibarat candu. Celakanya, sirkulasi kekuasaan hendak diputar di lingkungan kerabat (keluarga). 

Lalu apa motif utama mereka menyambung tradisi berkuasa? Sekadar mengabdi kepada rakyat? Saya kira kita patut ragu. Bisa jadi motifnya sangat diwarnai kehendak memperpanjang gerbong kapitalisme keluarga. Kekuasaan menjadi instrumen untuk melobi proyek, memuluskan negosiasi, mempermudah akses ekonomi, dan meraup keuntungan sebesar-besarnya sehingga yang kemudian terbangun adalah dinasti keluarga. Ini cara yang salah, sehingga Pemilu 2009 nyaris tidak akan membawa perubahan berarti. Karena pemilu bukan menghasilkan wakil rakyat yang serius berjuang untuk rakyat, tapi sebaliknya: hanya bernafsu meneruskan tradisi kekuasaan keluarga. 

Mestinya, kriteria rekrutmen politik didasarkan pada pertimbangan yang berimbang: kemampuan personal, jejaring, dan kaderisasi. Tiga unsur utama ini harus menjadi patokan seseorang direkrut menjadi calon wakil rakyat. Bukan karena faktor kedekatan, uang, apalagi sekadar pertimbangan keluarga. Sebab, partai politik bukan perusahaan keluarga sehingga bisa dengan enteng mewariskan kedudukan dari ayah ke anak, atau dengan muda menempatkan kerabat dalam posisi-posisi strategis. 

Ini namanya pembajakan demokrasi karena cara pengelolaan partai seperti mengurus perusahaan keluarga. Di negara-negara demokrasi baru seperti kita, tak jarang partai politik menjadi biang kerok bagi proses demokratisasi. Para teoretisi demokrasi selalu menjadikan partai politik sebagai sumbu atau poros politik. Tak lain dan tak bukan karena dalam mekanisme sistem perwakilan politik, partai politik adalah sarana rekrutmen. Namun di sinilah persis masalahnya. Partai politik kerap terjebak pada oligarki dan hegemoni. 

Sejak satu dasawarsa proses demokratisasi berlangsung, kita harus memberi garis bawah dengan tinta tebal: partai politik berpotensi membajak transisi demokrasi. Asumsi dasarnya tiga. Pertama, partai politik dikepung oleh kepentingan pribadi, kelompok, dan kerabat. Kedua, partai politik bukan memutus rantai korupsi tapi menyambung dan menyuburkan perilaku koruptif para elite politik. Dan ketiga, partai politik sekadar sarana berkuasa. Akibatnya, rakyat tidak menaruh kepercayaan dan harapan kepada partai. Padahal, salah satu kunci mempercepat transisi demokrasi adalah memberikan kekuasaan kepada elite-elite partai yang bermoral, berdedikasi, berkomitmen, dan berkemampuan. Bukan malah menjadikan partai sebagai instrumen dinasti keluarga. 

Ketika Eropa Timur melakukan transformasi politik dari komunisme ke demokrasi sejak tahun 1989, Paul G Lewis dalam Political Parties in Post-Communist Eastern Europe, 2000, tidak sepenuhnya meyakini bahwa partai politik bisa mempercepat gerak transisi. Studi itu dilakukan di 19 negara Eropa Timur, seperti Polandia, Bulgaria, Hongaria, Ukraina, Moldova, Republik Ceko, dan sebagainya. Hasil yang tunjukkan tidak jauh beda dengan situasi politik yang saat ini kita rasakan. Menyerahkan sepenuhnya proses demokratisasi kepada partai politik sama artinya dengan membiarkan perusakan demokrasi. Karena dalam kondisi tertentu, partai bisa membelokkan proses politik demokratis ke yang tidak demokratis. Itu sudah mulai tampak gejalanya. Partai dikepung oleh kultur dinasti keluarga. 



Oleh Abdul Gafur Sangadji, Analis dan dosen FISIP UI, Jakarta 

Sabtu, 30 Agustus 2008

Ada Keragu-raguan Menerapkan Pancasila


Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima para pengurus Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong atau Kosgoro yang dipimpin Bambang W Soeharto di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (29/8).

Kosgoro menyampaikan kepada Presiden agar menjadikan ideologi Pancasila sebagai ideologi yang bisa diterapkan dalam kehidupan berbangsa.

”Saat ini, untuk ideologi Pancasila, penerapannya terlihat masih banyak keragu-raguan di antara bangsa kita sendiri. Padahal, Pancasila telah berhasil mengkritisi komunisme, sosialisme, dan kapitalisme,” ujar Bambang dalam jumpa pers seusai pertemuan.

Globalisasi

Bambang mengemukakan, keragu-raguan kepada ideologi Pancasila muncul karena globalisasi dengan beragam nilai yang ditawarkannya. Padahal, sebagai ideologi, Pancasila bernilai luhur dan nilai-nilai yang ditawarkannya universal.

”Saat ini penting bagi generasi muda untuk mengetahui ideologi Pancasila sebenar-benarnya tidak untuk kepentingan kekuasaan seperti pada masa lalu,” ujarnya.

Selain membicarakan masalah Pancasila, Kosgoro juga menyampaikan rekomendasi, saran, masukan, dan dukungannya kepada pemerintahan yang dipimpin Presiden Yudhoyono dengan berbagai prestasinya.

”Empat tahun usia pemerintahan memberikan harapan cerah untuk masa depan Indonesia yang lebih baik,” ujar Bambang lebih lanjut.

Tridarma

Presiden Yudhoyono yang diberi dukungan minta Kosgoro menegakkan tridarmanya dalam setiap program yang dibuat, yaitu pengabdian, kerakyatan, dan solidaritas.

Pengurus Kosgoro yang hadir antara lain Hayono Isman (mantan tim sukses Yudhoyono tahun 2004), AM Abdullah, Tjokro Soeprijanto, Eliakim Tambun, Abdul Muin Angkat, JG Wowor, Lego Nirwhono, Novyan Kaman, Rathin Adiwaluyo, Bambang Sentanu, Soesanto Wismoyo, Titus Sarijanto, Uncu M Natsir, dan Basroni.

Kosgoro didirikan Mas Isman dan para pemuda pejuang eks Brigade XVII Detasemen I Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) pada 10 November 1957.(INU)

Ada Keragu-raguan Menerapkan Pancasila
Sabtu, 30 Agustus 2008 | 00:34 WIB

Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima para pengurus Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong atau Kosgoro yang dipimpin Bambang W Soeharto di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (29/8).

Kosgoro menyampaikan kepada Presiden agar menjadikan ideologi Pancasila sebagai ideologi yang bisa diterapkan dalam kehidupan berbangsa.

”Saat ini, untuk ideologi Pancasila, penerapannya terlihat masih banyak keragu-raguan di antara bangsa kita sendiri. Padahal, Pancasila telah berhasil mengkritisi komunisme, sosialisme, dan kapitalisme,” ujar Bambang dalam jumpa pers seusai pertemuan.

Globalisasi

Bambang mengemukakan, keragu-raguan kepada ideologi Pancasila muncul karena globalisasi dengan beragam nilai yang ditawarkannya. Padahal, sebagai ideologi, Pancasila bernilai luhur dan nilai-nilai yang ditawarkannya universal.

”Saat ini penting bagi generasi muda untuk mengetahui ideologi Pancasila sebenar-benarnya tidak untuk kepentingan kekuasaan seperti pada masa lalu,” ujarnya.

Selain membicarakan masalah Pancasila, Kosgoro juga menyampaikan rekomendasi, saran, masukan, dan dukungannya kepada pemerintahan yang dipimpin Presiden Yudhoyono dengan berbagai prestasinya.

”Empat tahun usia pemerintahan memberikan harapan cerah untuk masa depan Indonesia yang lebih baik,” ujar Bambang lebih lanjut.

Tridarma

Presiden Yudhoyono yang diberi dukungan minta Kosgoro menegakkan tridarmanya dalam setiap program yang dibuat, yaitu pengabdian, kerakyatan, dan solidaritas.

Pengurus Kosgoro yang hadir antara lain Hayono Isman (mantan tim sukses Yudhoyono tahun 2004), AM Abdullah, Tjokro Soeprijanto, Eliakim Tambun, Abdul Muin Angkat, JG Wowor, Lego Nirwhono, Novyan Kaman, Rathin Adiwaluyo, Bambang Sentanu, Soesanto Wismoyo, Titus Sarijanto, Uncu M Natsir, dan Basroni.

Kosgoro didirikan Mas Isman dan para pemuda pejuang eks Brigade XVII Detasemen I Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) pada 10 November 1957.(INU)

Pemimpin-pemimpin Muda


Oleh Jakob Sumardjo

Akhir-akhir ini bangkit keinginan atau gerakan kaum muda untuk menduduki jabatan-jabatan negara, menggantikan politisi tua yang selama ini dinilai tak becus memberikan kesejahteraan kepada rakyat. Niat ini baik, tetapi perlu beberapa catatan.

Kekacaubalauan pemerintahan birokrasi modern Indonesia selama ini—yang mengakibatkan kelakuan korup di mana-mana—tak dapat dipahami tanpa menelusur genealoginya.

Asal mula kemodernan bukan dari niat kita sendiri, tetapi dari kolonialisme Belanda. Kalau Belanda tidak menjajah Indonesia, negara ini masih dikuasai raja-raja dengan sistem feodalnya. Belanda yang memakan kita untuk menjadi modern karena pemerintahan birokrasi mereka memang modern.

Pada zaman kolonial, terutama sejak awal abad ke-20, pemerintah kolonial Belanda membentuk negara birokrasi yang nonpolitik. Pemerintah kolonial tidak didasari oleh kepentingan partai politik tertentu dari pihak Belanda. Pemerintahan kolonial ini murni dari melayani keinginan partai-partai politik.

Dualisme pemerintahan

Negara Hindia-Belanda menganut dualisme pemerintahan. Pemerintahan inti adalah golongan Belanda yang menduduki jabatan puncak, yakni gubernur jenderal, sampai gubernur-gubernur dan residen. Sementara para residen mendampingi pemerintahan tingkat kedua yang terdiri dari para raja, bupati, wedana. Pemerintahan tingkat dua ini tidak modern birokratik, tetapi tradisional-feodalistik, bahkan bersifat adat.

Selama masa kolonial tak ada orang Indonesia yang dapat menduduki jabatan kolonial, sekurang-kurangnya residen, apalagi menjadi gubernur. Orang-orang Indonesia selama ini tidak punya pengalaman dalam tata kerja sistem birokrasi modern pemerintahan. Mereka hanya mengenal tata pemerintahan ”tradisional” sejak dahulu kala.

Jadi, setelah kemerdekaan, para pejabat negara Indonesia yang baru ini sama sekali tidak punya pengalaman dalam birokrasi pemerintahan modern. Pengalaman mereka adalah pemerintahan Indonesia lama yang patrimonial, primordial, feodal. Pejabat adalah segalanya. Jabatan adalah kekuasaan itu sendiri, yakni negara itu sendiri.

Apa pun boleh dilakukan karena pemerintahan adalah miliknya.

Keadaan tidak berpengalaman modern ini lebih diperparah lagi dengan munculnya berbagai gerakan nasional. Tentu saja semua gerakan nasional ini baik dan positif karena tujuan utamanya bebas dari pemerintahan kolonial. Tetapi, gerakan-gerakan ini sejak awal menganut berbagai ideologi yang saling bertentangan. Tak pernah ada persatuan ideologi politik yang sesungguhnya sampai sekarang.

Tujuan gerakan-gerakan nasional ini jelas, yakni mengusir pemerintahan birokrasi kolonial dan membentuk pemerintahan dan negara Indonesia secara politis. Jadi, negara politik menggantikan negara nonpolitik (apolitik).

Salah urus negara

Sekarang ini ada dua macam ”penyakit” bangsa, yakni sistem pemerintahan setengah patrimonial-tradisional dan setengah modern. Ini karena kita tak pernah memiliki pengalaman birokrasi modern tingkat residen, gubernur, dan gubernur jenderal kolonial. Kedua, kita membentuk negara partai bukan negara apolitik, negara yang mengatasi partai-partai.

Sistem birokrasi serba tanggung inilah yang mengakibatkan kita salah urus negara. Kita semua sebenarnya manusia banci. Bukan lelaki atau perempuan tulen. Tugas pemimpin muda sekarang adalah menjadi lelaki tulen itu. Menjadi birokrat modern seratus persen tanpa bisa patrimonial dan kepartaian.

Menilik usia mereka di bawah 50 tahun (mengikuti Obama dan Kennedy), kelahiran mereka tahun 1960-an, saat Orde Baru mulai berkuasa.

Dekonstruksi besar-besaran

Pengalaman pada sistem pemerintahan yang tanggung ini adalah musuh utama mereka. Orang-orang ini harus tidak teracuni oleh alam pikiran kaum tua yang genealoginya kolonial. Kaum muda ini harus benar-benar pascakolonial, yang paham betul makna birokrasi pemerintahan modern yang murni. Pertama-tama mereka harus mampu menciptakan sebuah sistem baru yang bebas dari sistem gado-gado selama ini.

Tugas mereka berat, yakni dekonstruksi besar-besaran. Pemerintahan mereka harus bersih dari alam pikiran tua yang kini masih dominan. Banyak veteran kolonial yang hingga kini masih hidup. Pikiran dan sikap tanggung kebencian harus diganti. Karena mereka juga produk dari alam pikiran kacau itu dan sama sekali belum memiliki pengalaman birokrasi modern yang sesungguhnya (kecuali yang bekerja di perusahaan asing), pembelajaran dan pelatihan sistem birokrasi modern harus disiapkan. Mengubah budaya tidak semudah membalik telapak tangan, main simsalabim.

Pembongkaran cara berpikir sistemik ini tidak boleh jatuh ke zonesentrisme, kebiasaan adopsi cara berpikir asing tanpa kompromi. Indonesia memiliki historistasnya sendiri yang berbeda dengan bangsa-bangsa dan negara lain yang sudah maju. Kebiasaan asal meniru ini juga bawaan kolonial, karena kita warga kelas dua, semua yang berasal dari warga kelas satu kolonial kita puja dan kita tiru.

Menguasai data empiris Indonesia adalah titik tolak pembongkaran. Kita baru mampu membangun yang baru jika menguasai apa yang akan kita bongkar. Kemampuan semacam ini rata-rata sudah ditinggalkan bangsa Indonesia.

Banyak yang harus dipelajari selain niat baik saja.

Jakob Sumardjo Esais

PParpol Baru dengan Beban Masa Lalu dari Pendirinya


Sebagai partai politik baru, Partai Gerakan Indonesia Raya atau Gerindra menyita perhatian publik. Promosinya, melalui media massa secara terus-menerus, memasuki ruang dan benak masyarakat. Iklan yang muncul hampir setiap hari itu juga memperlihatkan partai ini memiliki kemampuan dana.

Ketika iklan Partai Gerindra muncul, orang membicarakan siapa di balik partai, yang terlihat memahami pentingnya promosi untuk memperkenalkan produk baru. Parpol, termasuk Partai Gerindra, adalah produk baru yang harus merebut ”pasar” pemilih pada Pemilu 2009.

Prabowo Subianto Djojohadikusumo, nama itulah yang muncul. Mantan Panglima Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat (Kostrad) itu, setelah dipensiun dini dari ketentaraan tahun 1998, menjadi pengusaha. Dia pernah memimpin sejumlah perusahaan dengan investasi di dalam dan luar negeri. Kini ia menjadi Presiden Direktur PT Kiani Kertas. Pantas, promosi Partai Gerindra ”besar-besaran”.

Secara resmi Prabowo baru bergabung ke Partai Gerindra pada 12 Juli 2008. Partai ini didirikan pada Februari 2008 serta tercatat di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) pada 3 April 2008. Ketua Umum Partai Gerindra Suhardi mengakui, Prabowo ”campur tangan” dalam pembentukan partai itu, tetapi selama ini di belakang layar. Prabowo tak muncul sebab masih tercatat sebagai pengurus Partai Golkar.

Setelah melepaskan keanggotaannya di Partai Golkar, baru Prabowo bergabung dengan partai yang ikut dibidaninya itu. Pria yang (pernah) beristrikan Siti Hediati Haryadi, putri mantan Presiden Soeharto, itu juga yang memilih lambang Partai Gerindra, burung garuda, yang mirip ”kepala” tongkat komando di lingkungan militer. Pilihan ini membuat kesan Partai Gerindra dekat dengan militer.

Suhardi membantah partai itu lekat dengan kemiliteran. Hanya sedikit purnawirawan TNI/Polri yang menjadi pengurus dan calon anggota legislatif (caleg). Namun, kesan itu tidak mudah dihapuskan karena, meskipun sedikit, purnawirawan itu memegang jabatan strategis, seperti mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus TNI AD (Kopassus) Muchdi Pr, yang menjadi wakil ketua umum. Partai Gerindra pun jauh-jauh hari sudah mencalonkan Prabowo sebagai presiden.

Prabowo pernah mengikuti konvensi calon presiden dari Partai Golkar, menjelang Pemilu 2004. Ia kalah. Salah satu ”titik lemah” Prabowo, yang akan dipolitisasi lawan politiknya, adalah dugaan keterlibatannya dalam kasus penculikan sejumlah aktivis tahun 1998, menjelang Soeharto lengser. Kasus itu pula yang membuat ia dipensiunkan dini dari kemiliteran.

Suhardi menilai, kasus penculikan aktivis itu tidak relevan lagi untuk ”menjatuhkan” Prabowo. Kasus itu tak lagi menjadi beban karena berulang kali dijawab dan tidak pernah bisa dibuktikan. Bahkan, Partai Gerindra kini memiliki ”perisai” kuat untuk menangkal tuduhan keterlibatan Prabowo karena dua korban penculikan tahun 1998, Pius Lutrilanang dan Desmond J Mahesa, menjadi kader dan caleg partainya.

Namun, beban masa lalu dari pendiri Partai Gerindra bukan hanya dari Prabowo. Kini Muchdi diadili karena diduga terlibat kasus pembunuhan terhadap aktivis HAM, Munir.

Dengan iklan di media massa yang bertubi-tubi, pengelola Partai Gerindra terlihat tengah melakukan branding. Melekatkan partai itu di benak rakyat. Namun, beban masa lalu itu juga perlu dijawab.... (dwa/tra)

Jumat, 29 Agustus 2008

Apa pun Ideologinya, Kesejahteraan Rakyat Utamanya



GURITA kapitalisme global memang sulit dibendung dan dilawan. Meski begitu, sejumlah negara di Amerika Latin mampu menunjukkan bahwa kapitalisme bukanlah satu-satunya cara untuk menyejahterakan rakyat.

Boleh jadi banyak pihak meragukan sistem perekonomian yang diterapkan negara-negara berpredikat sosialis itu apakah akan mampu memenangkan pertarungan memperebutkan kue ekonomi kesejahteraan bagi rakyatnya. Sebab, neoliberalisme ekonomi sudah demikian menggurita layaknya kitab suci praktik ekonomi global.

Tetapi, sejumlah negara di Amerika Latin dengan kebangkitan "kiri" baru memberikan pelajaran bagaimana melawan kerangka kapitalisme yang selama ini secara agresif diwujudkan negara-negara Barat. Profesor bidang ilmu politik kenamaan Polandia Adam Przeworski secara pedas menuding bahwa kapitalisme merupakan kejahatan terorganisasi dan semua penduduk bumi adalah korbannya.

Argumentasi Przeworski layaknya hantaman bagi argumentasi tokoh-tokoh prokapitalisme seperti Milton Friedman dan Adam Smith yang mati-matian membela ideologi ekonomi ini. Dalam Capitalism & Freedom(1962), Milton menyatakan bahwa semua argumentasi yang melawan pasar bebas adalah merongrong kebebasan. Sementara Smith (Wealth Nations,1776) menyatakan bahwa setiap manusia mengamanahkan dirinya bukan untuk kemanusiaan, melainkan untuk rasa cinta diri sendiri.

Manusia tidak pernah berbicara atas dasar sebuah keharusan, tetapi atas dasar keuntungan untuk diri mereka sendiri. Itu sebabnya pasar bebas dan kapitalisme telah menjelma menjadi ideologi global. Semua negara di dunia mau tidak mau harus mengikuti kerangka ini jika tidak ingin tergilas globalisasi ekonomi.

Meski Perang Dingin blok Barat dan Timur telah usai, perang paham kapitalisme dengan sosialisme sejatinya masih berlangsung. Kalangan prokapitalis selalu mengidentikkan kerangka ekonomi kapitalisme dengan demokrasi dan kebebasan berekspresi. Di sisi lain, menuding kalangan sosialis sebagai diktator dan antidemokrasi.

Selain Smith dan Friedman, banyak lagi sederet tokoh, antara lain John Maynard Keynes, Friedrich Hayek, John Stuart Mill, David Ricardo, yang menjadi inspirator diberlakukannya kapitalisme. Sementara sosialisme yang mulai didengungkan sejak abad ke-19 dinilai banyak pihak sebagai wujud pergolakan gerakan buruh industri dan buruh tani guna memperjuangkan prinsip solidaritas, persamaan dalam sistem ekonomi.

Banyak aliran dan gerakan sosialisme berkembang, mulai sosialisme libertarian, anarko-sindikalisme, komunisme, Marhaenisme, Marxisme, dan banyak lagi lainnya. Wilson, Coen Husain Pontoh dkk dalam bukunya Menghadang Imperialisme Global (Mei 2005) menegaskan bahwa neoliberalisme bersama proyek imperialisme globalnya telah menguburkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan dalam peti mati sejarah.

Sebab, ideologi ini hanya menciptakan kemiskinan, penghancuran, dan pemusnahan atas warga di belahan dunia lainnya, seraya mengundang gelombang perlawanan dari kelompok-kelompok masyarakat tertindas. Meskipun belum menunjukkan kesepadanan kekuatannya, buktinya Poros Harapan yang dibentuk Kuba, Venezuela, dan Bolivia dipercaya menjadi jawaban atas ketidakadilan ekonomi global bagi negara dunia ketiga akibat imperialisme global.

Negara-negara sosialis seperti Kuba sangat memprioritaskan pendidikan dan kesehatan bagi rakyatnya. Negara berpenduduk sekira 11,2 juta jiwa (2006) ini memang telah membuktikan keterjangkauan pendidikan bagi rakyatnya yang tidak kalah dengan negara maju. Biaya pendidikan di Kuba sudah digratiskan. Kuba pun mampu menyaingi standar pendidikan negaranegara kaya seperti AS, Kanada, atau bahkan Inggris. Sebab, pemerintah Kuba menyediakan anggaran pendidikan sekira 8 persen dari PDB atau 2 persen di atas anjuran UNESCO. Di bidang kesehatan pun demikian.

Negara yang saat ini dipimpin Raul Castro ini memiliki prestasi gemilang. Indonesia, yang sudah merdeka 63 tahun, seharusnya mampu mewujudkan hal yang sama sesuai amanat UUD 1945. Negara dibentuk memang bertujuan menyejahterakan rakyatnya, bukan sebaliknya. Tidak peduli ideologi yang digunakan sosialisme, kapitalisme, atau sistem ekonomi Pancasila. (sindo//mbs)


Survei NLC: Megawati-SBY Bersaing Ketat di Pemilu 2009


Jakarta - Pemilu 2009 makin dekat. Berbagai survei soal siapa pemimpin masa depan pilihan rakyat pun digelar. Menurut survei National Leadership Center (NLC), Megawati Soekarnoputri dan SBY masih moncer. Keduanya bersaing ketat.

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan di 30 provinsi pada 18-29 Juli, Megawati mendapatkan satu angkat di atas SBY yakni 28 persen. Sementara SBY di urutan kedua yakni 27 persen.

"Dibandingkan kandidat yang resmi dicalonkan parpol maupun belum, Megawati dan SBY bersaing ketat. Megawati mendapatkan satu angka di atas SBY dengan kemungkinan batas kesalahan (margin of error) dan tingkat keyakinan 95 persen," kata Presiden Direktur NLC Taufik Bahaudin dalam jumpa persnya di Hotel Shangri-La, Jl Pejompongan, Jakarta, Kamis (28/8/2008).

Menurut Taufik, survei dilakukan melalui teknik wawancara terhadap 2.000 orang responden calon pemilih berumur 17 ke atas. Jejak pendapat yang dilakukan di 30 provinsi itu dilakukan oleh Taylor Nelson Sofres (TNS) Indonesia, cabang lembaga survei internasional yang bermarkas di London, Inggris.

SBY yang berada di bawah Megawati menunjukkan SBY tidak mengalami kenaikan popularitas. "SBY tidak mengalami kenaikan dan popularitasnya dikalahkan oleh capres PDIP, yang juga mantan presiden Megawati dipilih 28 persen responden," jelasnya.

Sementara, ditambahkan Taufik, kandidat capres lainnya yang baru diumukan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Prabowo Subianto menempati urutan ketiga dengan 11 persen pilihan responden. Selanjutnya kandidat seperti Sri Sultan Hamengku Buwono X dipilih 6 persen responden, Wiranto dipilih 5 persen responden, Gus Dur 4 persen, Jusuf Kalla 2 persen.

Sementara mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, mantan Ketua DPR Akbar Tandjung, Surya Paloh masing-masing mendapatkan 1 persen pilihan responden. Sedangkan Amien Rais dan Aburizal Bakrie masing-masing mendapatkan kurang dari 1 persen (diberi tanda bintang) pilihan responden.

Ketika responden ditanya dari kandidat capres yang secara resmi sudah dideklarasikan oleh partai politik. Justru menurut Taufik hasilnya berbalik, di mana SBY menjadi pilihan responden sebanyak 32 persen dan Megawati memperoleh 31 persen.

Prabowo Subianto meperoleh 23 persen, Wiranto 6 persen, Gus Dur 4 persen, Jusuf Kalla 2 persen dan Sutiyoso 1 persen. Tentang parpol yang akan dipilih responden dalam Pemilu mendarang, ternyata PDIP masih unggul 28 persen.

14 persen responden memilih Partai Golkar, menyusul 13 persen Partai Demokrat. PKB memperoleh 7 persen, PKS memperoleh 6 persen, Gerindra memperoleh 5 persen, PAN memperoleh 4 persen, PPP memperoleh 3 persen dan Hanura memperoleh 2 persen.

Taufik menerangkan, para kandidat ini masih menjadi pilihan favorit masyarakat dikarenakan peran media massa yang membicarakan tokoh-tokoh tersebut. "Figur ternyata masih lebih kuat dibandingkan parpolnya. Ini yang pelu dikaji lagi, dan kita akan terus melakukan penelitian," imbuhnya.(zal/ken)

Korupsi Politik di Parlemen


Oleh Artidjo Alkostar

Korupsi politik di parlemen merupakan kejahatan yang sifat berbahayanya lebih dahsyat dibandingkan korupsi yang dilakukan oleh orang yang tak memiliki kekuasaan politik. Dampak sosial-politik dan ekonominya sangat luas karena mempergunakan kewenangan politik dan sarana kekuasaan yang ada pada pelaku korupsi tersebut.

Korupsi politik yang terjadi di parlemen merupakan salah satu bentuk pengkhianatan terhadap amanat rakyat, khususnya konstituen pemilihnya. Korupsi politik di parlemen dilakukan dengan cara memperjualbelikan kekuasaan elektoral demi keuntungan pribadi.

Korupsi kekuasaan elektoral

Kekuasaan dalam negara modern merupakan manifestasi dari kekuasaan rakyat, sejatinya merupakan amanat rakyat kepada pemegang kekuasaan negara untuk dilaksanakan sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara. Manipulasi pelaksanaan kekuasaan secara moral dan hukum merupakan korupsi kekuasaan. Entitas korupsi politik terjalin berseanyaman dengan praktik pelaksanaan kekuasaan.

Praktik korupsi kekuasaan itu muncul dalam berbagai corak dan variasinya karena terkait dengan jenis dan tingkat penyalahgunaan wewenang, kesempatan, dan sarana yang melekat pada jabatan atau kedudukan penguasa politik. Korupsi kekuasaan di parlemen merugikan perjalanan demokrasi politik bangsa Indonesia karena wakil rakyat yang memiliki mandat kekuasaan elektoral yang harus dibelokkan menjadi perilaku transaksional yang kolutif.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pusat maupun daerah merupakan representasi dari rakyat pemilihnya sehingga akan memengaruhi kepercayaan konstituennya jika para wakil yang dipilihnya terlibat korupsi.

Dalam kacamata hukum, unsur inti dari korupsi adalah memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang mempunyai hubungan kausal dengan kerugian keuangan atau perekonomian negara. Hak sosial ekonomi rakyat dan hak berkehidupan layak segenap warga negara menjadi sirna jika hak-hak strategis tersebut diambil penguasa politik yang justru diberi mandat memperjuangkan peningkatan kemakmuran rakyat.

Ironi demokrasi

Berbeda dengan korupsi biasa, korupsi politik di parlemen bersifat struktural. Pada masa Orde Baru, pemerintah biasa menyelesaikan korupsi politik dengan cara menyembunyikan di bawah karpet. Sikap demikian tidak lepas dari watak dasar korupsi politik yang merupakan bagian dari mesin kekuasaan. Kekuasaan politik anggota parlemen sejatinya bukan dimiliki, tetapi merupakan artefak dan titipan dari pemilihnya. Dalam negara Indonesia yang demokratis egaliter, tidak ada tempat sakral bagi institusi atau kebal hukum bagi orang untuk diadili atas dakwaan korupsi.

Korupsi politik di parlemen menimbulkan kekaburan antara ketidakmampuan dan ketidakjujuran di mata rakyat pemilihnya. Dalam melihat korupsi politik di parlemen Italia yang memiliki hubungan erat dengan mafia pada tahun 1993, Amartya Sen (1999 : 277) mengelaborasi tindakan korupsi yang dilatarbelakangi alasan relative justice dengan dalih bahwa orang lain juga melakukan jual-beli kekuasaan seperti itu (others do the same).

Dalam buku Glass Houses, Shocking Profiles of Congressional Sex Scandals and Other Unofficial Misconduct, SG Hilton dan AR Testa (1998) memaparkan tingkah laku menyimpang dari 38 anggota kongres Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan betapa penyakit kanker korupsi politik dapat menyerang tubuh negara berkembang atau negara maju karena korupsi politik menyangkut rohani pemegang kekuasaan politik yang memanipulasi kekuasaan milik rakyat.

Sangat berbahaya bagi tubuh negara Indonesia jika tidak menyadari bahwa dirinya telah terserang kanker ganas korupsi politik. Pemerintah China berhasil melakukan operasi by pass kanker korupsi dan secara terbuka sejak tahun 2000 menempatkan korupsi sebagai musuh nomor satu. Hasilnya telah memberikan dampak signifikan bagi pertumbuhan ekonominya dan kepercayaan publik internasional.

Fenomena terkuaknya anggota parlemen yang tersangkut perkara korupsi menjadi ironi demokrasi dan harus menjadi petunjuk bagi bangsa Indonesia untuk terus mengibarkan bendera perang terhadap korupsi agar perjalanan negara kita tidak tersandera mentalitas korup kolektif yang melekat pada tingkah laku kekuasaan politik di Indonesia. Anggota parlemen kita merupakan figur sentral dan representasi dari rakyat Indonesia.

Negara Indonesia sedang ditantang untuk dapat merawat momentum demokrasi yang telah dicapai. Bangsa Indonesia harus cerdas merespons fenomena korupsi politik, baik secara penal maupun nonpenal, agar fenomena sikap korup tidak menjadi konvensi atau kebiasaan umum tingkah laku politik di Indonesia. Saat yang sama rakyat Indonesia harus bersikap kritis secara politis dengan tidak memilih kembali anggota parlemen yang telah terbukti melakukan korupsi.

Artidjo Alkostar Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia; Mantan Direktur LBH Yogya
   
  A A A

Masalah yang Muncul Bukan karena Perubahan UUD 1945


Jakarta, Kompas - Mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Amien Rais menegaskan, sejumlah masalah bangsa Indonesia saat ini tidak disebabkan oleh perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Sebaliknya, perubahan itu justru makin menguatkan cita-cita para pendiri bangsa.

”Jika ada yang berkata, gara-gara perubahan (UUD 1945) Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bisa pecah, itu tidak benar,” kata Amien dalam acara Young Leader Forum, Rabu (27/8) di Jakarta.

Pembicara lain adalah pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada, Sri Adiningsih, dan pengamat moneter Iman Sugema.

Saat kepemimpinan Amien pada 1999-2004, MPR mengubah UUD 1945 hingga empat kali. Hasil perubahan pertama ditetapkan 19 Oktober 1999, perubahan kedua ditetapkan 18 Agustus 2000, hasil perubahan ketiga ditetapkan 9 November 2001. Adapun hasil perubahan keempat ditetapkan 10 Agustus 2002.

Sejumlah pihak merasa, keempat perubahan itu telah memunculkan sejumlah masalah bangsa, seperti ancaman disintegrasi. Sistem pemerintahan juga dinilai menjadi tidak jelas, campuran antara parlementer dan presidensial.

Menurut Amien, dalam perubahan UUD 1945 ditegaskan, NKRI merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar. Jadi, kekhawatiran bahwa perubahan itu mengancam integrasi, dinilainya tidak beralasan.

Isi Pasal 33 Ayat 4 yang merupakan hasil perubahan keempat UUD 1945, lanjut Amien, justru menghimpun cita-cita para pendiri bangsa Indonesia di bidang perekonomian. Ayat itu berbunyi: Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

”Kita tidak usah terlalu sering menengok ke belakang. Negara ini tidak akan bubar. Ekonomi juga tidak akan ambruk seluruhnya karena kekayaan alam kita amat banyak. Masalahnya, apa kita mau tetap seperti sekarang, hidup enggan mati tidak mau?” tanya Amien.

Sri Adiningsih berpendapat, ada dua hal yang dibutuhkan Indonesia untuk bangkit. Pertama, memiliki arah kebijakan yang jelas. Ekonomi Indonesia saat ini dinilainya sudah terlalu liberal. ”Kalau perlu kita lakukan moratorium liberalisasi. Buat masyarakat memahami liberalisasi dan tingkatkan daya saing. Juga hanya buka keran liberalisasi yang menguntungkan kita,” ucapnya.

Langkah kedua, menyusun kebijakan untuk perspektif jangka panjang. Elite politik saat ini umumnya hanya memikirkan kebijakan jangka pendek, yaitu lima tahun untuk kemudian berusaha dipilih lagi saat pemilu.

Iman Sugema berharap program-program nyata untuk peningkatan kesejahteraan rakyat harus lebih banyak dan beragam. (NWO)
   


Pemimpin Tegas untuk Selamatkan Rakyat



Jakarta, Kompas - Saat ini diperlukan pemimpin yang kuat untuk bisa menyelamatkan kondisi rakyat Indonesia dan menghadapi tantangan global. Jika kepemimpinan formal dipegang oleh pemimpin yang tidak mempunyai karakter kuat, maka bisa terjadi kegagalan.

Hal itu terungkap dalam dialog tentang Tantangan Kepemimpinan 2009 yang diselenggarakan National Press Club of Indonesia di Jakarta, Rabu (27/8). Wiranto, Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), dalam dialog itu menyatakan, masyarakat cenderung mengikuti pimpinannya atau follow the leader, asalkan kebutuhan dasar mereka bisa terjangkau dan terpenuhi.

”Jadi, sebenarnya yang menjadi penentu adalah pemimpin formal yang dilegitimasi rakyat. Bisakah melindungi dan memenuhi tuntutan rakyatnya? Hal itu bergantung pada pemimpin formal itu,” kata Wiranto.

Soetrisno Bachir, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), juga mengakui, pemimpin formal berperan penting untuk membawa perubahan di negeri ini. ”Seorang pemimpin harus kuat untuk bisa melindungi rakyat. Pemimpin yang kuat saja belum tentu bisa, apalagi yang lemah,” tambahnya.

Namun, lanjutnya, distribusi kepemimpinan juga harus dilakukan. Ini mengingat wilayah cakupan negara yang luas.

Wiranto juga mempunyai gagasan menjadikan kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan sebagai musuh bersama. Negara seperti Amerika Serikat mengambil momen tragedi 11 September sebagai semangat kebangsaan dengan menetapkan musuh bersama dalam tragedi itu.

Saat ini, lanjut Wiranto, Indonesia tidak memiliki musuh bersama yang berakibat memudarnya rasa kebangsaan. (nit)

Parpol Belum Bahas Nama Capres


Koalisi PDIP-Golkar Dijajaki

Jakarta, Kompas - Sejumlah partai besar, hingga saat ini, masih belum menentukan nama calon presiden atau wakil presiden yang akan mereka ajukan dalam Pemilihan Presiden 2009. Mereka masih menunggu hasil dari pemilu legislatif guna menyusun strategi selanjutnya.

Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Soetrisno Bachir, di Jakarta, Rabu (27/8), mengungkapkan dirinya belum menyatakan mencalonkan diri sebagai presiden karena PAN masih membahas nama-nama kader yang dianggap pantas menjadi calon presiden dari kalangan tua atau muda.

Menurut dia, ada beberapa alternatif nama yang sudah diajukan, di antaranya Amien Rais, Bambang Sudibyo, AM Fatwa, Zulkifli Hasan, serta kaum muda di antaranya Alvin Lee dan Totok Sudaryanto.

PAN baru bisa mengatur strategi siapa yang akan maju menjadi calon pemimpin jika hasil pemilu legislatif nanti partainya bisa memenuhi persyaratan pengajuan calon presiden.

Sementara itu, Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Wiranto mengatakan, partainya sedang berkonsentrasi penuh untuk memperoleh suara sebanyak-banyaknya pada pemilu legislatif.

Mantan Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung juga mengatakan, pasangan-pasangan calon presiden dan wakil presiden kemungkinan baru marak muncul seusai pemilu legislatif.

Akbar menampik jika dirinya dicalonkan jadi salah satu calon presiden dari Partai Bintang Reformasi.

Mengenai rencana koalisi partai, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Pramono Anung mengakui bahwa partainya kini sedang menjajaki kemungkinan koalisi dengan partai lain. Selain Golkar, partai-partai yang kemungkinan akan dijajaki di antaranya PAN, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Keadilan Sejahtera.

Sementara itu, mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Amien Rais, kemarin di Jakarta, menyatakan siap maju pada Pemilihan Presiden 2009 jika ada indikasi dibutuhkan oleh sebagian rakyat Indonesia.

Dalam suatu acara di Jakarta, kemarin, Direktur Eksekutif Freedom Institute Rizal Mallarangeng mengatakan, ”Generasi muda harus tampil (pada Pemilu 2009), tetapi tidak harus menang.” (MZW/NWO/NIT)

Menuju Kepartaian Modern


Oleh Donny Gahral Adian

Gegap gempita calon independen untuk kursi kepresidenan mesti dicermati baik-baik. Di satu sisi ada soal hak konstitusional yang setara atas partisipasi politik. Di sisi lain, alergi politik terhadap partai sebagai mesin partisipasi yang bekerja maksimal.

Dua soal mesti didedah pelan-pelan. Pertama, apakah benar hak konstitusional warga terpangkas oleh kepartaian sebagai representasi politik? Kedua, apakah benar partai tidak bekerja maksimal dalam memompa partisipasi politik warga. Saya cenderung berhati-hati untuk segera memberi jawaban positif.

Kepartaian kita

Dalam kurun demokrasi liberal republik ini (1955-1959), kepartaian adalah keterwakilan. Setiap kelompok ideologis berlomba berpartisipasi lewat kepartaian. Keterwakilan di parlemen adalah kunci bagi keterwakilan ideologis. Apalagi, republik ini dibayang-bayangi sebuah undang-undang dasar yang belum selesai. Semua kelompok berlomba menancapkan wakilnya di parlemen agar punya suara dalam pahatan undang-undang dasar baru.

Ideologi begitu gamblang dan terpilah. Memang ada satu dua yang beririsan. Namun, begitulah demokrasi. Demokrasi senantiasa menyisakan irisan tipis dan tebal nilai-nilai politik. Kejelasan ideologi membuahkan kejelasan kaderisasi. Semua partai tahu apa yang harus dibekalkan pada kader-kadernya Semua kader tahu apa yang mesti diperjuangkan nanti di parlemen. Kader partai berhaluan kiri berjuang memaknai kebebasan beragama sebagai kebebasan untuk memilih agama. Kader partai keagamaan berjuang memastikan agar kebebasan beragama adalah kebebasan setiap pemeluk agama dalam menjalankan syariat masing-masing.

Pada waktu itu, saya membayangkan kampanye yang beragam dalam isu dan soal. Pasar politik yang demikian besar membutuhkan kekhasan dan ketaksebandingan. Berbeda dengan dewasa ini yang mana semua kampanye berbunyi sama. Tak mengherankan partisipasi menurun cukup signifikan. Adagium komunikasi berbunyi, ”Kesamaan dalam bentuk dan isi komunikasi menghasilkan kejenuhan dan apatisme”.

Bulan madu liberal tersebut tidak berjalan lama. Demokrasi terpimpin datang yang tak lama kemudian berganti lagi menjadi totalitarianisme Orde Baru. Dalam Orde Baru segalanya ditundukkan oleh logika ekonomi. Ekonomi yang tadinya adalah pelayan tujuan-tujuan politik sekarang mengebawahkan politik. Politik menjadi transaksional. Pilihan politik terpulang pada apakah jalan di desa tertentu diperbaiki atau tidak.

Noda ekonomi pada kerah politik itu menghasilkan trauma tersendiri. Sistem multipartai yang diberlakukan kembali pascatahun 1998 pun terciprat. Persepsi publik terhadap kepartaian menjadi begitu negatif. Partai dipandang sebagai mesin ekonomi bukan politik. Partai dibangun dengan uang pendonor yang berkepentingan. Nomor urut calon legislatif mewakili nomor urut besaran donasi.

Kaderisasi berjalan tanpa ideologi. Alih-alih membekalkan politik sebagai gugus nilai dan gagasan, kaderisasi semata mendoktrinkan politik sebagai teknik berkuasa. Tak mengherankan, kualitas ideologis anggota parlemen kita begitu lemah. Perdebatan di parlemen tak lebih debat kusir belaka. Politik jauh dari kontestasi. Saat ekonomi menghampiri, perseteruan berubah menjadi jabatan tangan. Yang abadi dalam politik bukan kontestasi, melainkan transaksi.

Harus kepartaian

Partai yang melempem menghasilkan sentimen antipartai yang begitu keras. Seolah segala kebobrokan politik berumah di partai. Sentimen yang sama membuat sebagian kalangan menuntut diperbolehkannya calon independen bertarung di pemilihan presiden 2009. Harapan baru bergantung pada pemimpin baru nonpartai. Sebab, partai sebagai mesin ekonomi belaka tak bisa diharapkan menghasilkan pemimpin harapan.

Hipotesis kebobrokan partai digulirkan oleh persepsi publik yang terekam oleh survei. Survei bersandar pada persepsi yang dapat diombang-ambing oleh bias yang relatif secara ruang dan waktu, apalagi persepsi negatif tersebut diperkuat oleh lonjakan kuantitas partai peserta pemilu. Publik membaca ini sebagai simbol kerakusan dan ketamakan atas kekuasaan belaka. Bukan niatan tulus dalam mengabdi dan berjuang bersandarkan nilai-nilai politik tertentu.

Saya menaruh hormat terhadap upaya realisasi calon presiden independen. Saya menaruh hormat terhadap sikap sebagian kalangan terhadap kepartaian kita. Hanya saya tidak yakin apakah itu semua dapat membebaskan politik dari lilitan ekonomi. Apakah menjadi calon independen tidak membutuhkan biaya? Dari mana datangnya? Kalau donasi pengusaha dianggap haram, jalan satu-satunya adalah iuran anggota. Sayangnya calon independen tidak memiliki partai yang beranggota.

Alih-alih menghujani partai dengan syak-wasangka, lebih baik kita dorong partai kita agar memodernisasi dirinya. Menjadi modern artinya meminimalisasi oligarki dalam partai. Menjadi modern artinya tidak menjadikan calon partai sebagai sapi perahan. Terakhir, menjadi modern artinya mengembalikan partai sebagai mesin politik. Partai adalah institusionalisasi nilai-nilai politik. Partai adalah perjuangan dan kontestasi ideologis bukan jabatan tangan.

Sebagai organisasi politik, partai harus mampu membekali kadernya dengan kecakapan politik (kepemimpinan, pemecahan masalah, analisis, kritisisme dan sebagainya). Di samping itu, kecakapan politik juga harus disertai gugus nilai politik sebagai alasnya. Kader yang memiliki kepemimpinan yang kokoh harus mengerti nilai apa yang harus diperjuangkan melalui kepemimpinannya.

Muluk memang. Sebagian akan berkilah bahwa upaya modernisasi partai membutuhkan waktu yang panjang, sementara republik ini segera membutuhkan pemimpin baru untuk mengatasi pelbagai tantangan di depan mata. Namun, apakah jawabannya melulu harus melalui jalan nonpartai? Saya agak cemas dengan euforia publik mengenai hal tersebut.

Kepartaian modern harus dibangun. Partai harus dipaksa untuk berbenah diri. Oleh karena itu mekanisme electoral threshold harus diberlakukan tanpa tedeng aling-aling. Partai yang sudah berkursi pun tidak otomatis lolos. Partai bobrok akan kehilangan suara yang berbuah hilangnya keterwakilan di parlemen dan eksekutif. Republik ini adalah rumpun organisasi politik yang mesti memiliki fundamen manajemen politik yang kuat. Tanpa itu, mungkin saja pendapat rekan-rekan pejuang independen menjadi benar satu saat nanti. Wallahualam.

Donny Gahral Adian Dosen Filsafat UI
   


Pemilu 2009 Tentukan Generasi Baru Politik


Demokrasi Masih Berlangsung di Bawah Tekanan Prosedural 

Jakarta, Kompas - Pemilu 2009 adalah babak baru bagi bangsa Indonesia dan merupakan ajang terakhir bagi politisi senior yang ada saat ini. Hasil Pemilu 2009 akan menentukan generasi politik baru. Namun, oligarki partai politik masih berlangsung dan bergerak menuju masa depan Indonesia sekurang-kurangnya sampai 2015.

Demikian diingatkan pakar politik Daniel Dhakidae pada ”Kompas Political Gathering” di Bentara Budaya Jakarta, Rabu (27/8) malam. Pertemuan itu dihadiri sejumlah pemimpin partai, antara lain Ketua Umum Partai Golkar M Jusuf Kalla, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Soetrisno Bachir, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suryadharma Ali, Ketua Umum Partai Bintang Reformasi (PBR) Bursah Zarnubi, Ketua Umum Dewan Tanfidz Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Damai Sejahtera (PDS) Ruyandi Hutasoit, Ketua Umum Partai Barisan Nasional (Barnas) Vence Rumangkang, Ketua Umum Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI) S Roy Rening, Ketua Umum Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) Choirul Anam, dan Ketua Umum Partai Persatuan Daerah (PPD) Oesman Sapta.

Hadir pula Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X, Wakil Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Hamdan Zoelva, Wakil Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Fadli Zon, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Pramono Anung Wibowo, Sekjen Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) Didik Supriyanto, Sekjen Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB) Eddy Danggur, Sekjen Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBKI) Zulvan Lindan, dan fungsionaris Partai Demokrat Andi A Mallarangeng.

Kesempatan terakhir

Daniel mengingatkan, Pemilu 2009 menjadi kesempatan terakhir bagi sejumlah tokoh nasional untuk mencalonkan diri. ”Pemilu 2009 bisa disebut sebagai kesempatan terakhir bagi Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, Wiranto, dan siapa saja. Karena itu, akan memakan banyak tenaga, waktu, dan biaya,” katanya. Hampir semua aktivis dan politikus yang memegang peran dalam politik dan birokrasi nasional pada periode Orde Baru akan mengakhiri peranannya itu.

”Pemilu mendatang akan menjadi ajang yang sangat menarik bagi pengamat dilihat dari pertarungan idenya,” ujarnya.

Namun, menurut Daniel, partai politik tetap akan menjadi kendaraan, sedangkan calon perseorangan, baik dalam pemilihan nasional maupun pemilu di tingkat provinsi dan kabupaten, tidak akan mendapatkan tempat.

Sebelumnya, Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama saat membuka acara itu mengingatkan, demokrasi yang berlangsung saat ini masih berada di bawah tekanan prosedural. Artinya, proses dan cara sudah mengikuti proses demokrasi, tetapi belum menyentuh substansi demokrasi. ”Demokrasi tidak sekadar kebebasan dan pesan dari rakyat dan oleh rakyat, tetapi demokrasi juga melihat keadilan sosial dan ekonomi,” ujarnya.

Bagaimanapun, Jakob berharap, proses demokrasi bisa berlangsung ke arah yang lebih mapan. Apalagi, pemilu mendatang merupakan pemilu kedua setelah reformasi, yang memang diharapkan dapat memunculkan demokrasi yang lebih matang.

Jakob juga mengakui, Pemilu 2009, khususnya pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD (legislatif) pada 9 April 2009, memiliki nilai strategis bagi bangsa Indonesia karena hasil pemilu legislatif itu akan menentukan pemilihan presiden-wakil presiden 2009.

”Dari sisi tahapan demokrasi, Pemilu 2009 sangat menentukan apakah bangsa Indonesia mampu mengonsolidasikan demokrasi dan kemudian maju selangkah menuju negara dengan demokrasi yang matang, atau tetap bertahan sebagai negara yang sedang menuju demokrasi,” ujar Jakob. Pemilu 2009 sangat menentukan status Indonesia dalam jajaran negara demokratis di dunia.

Jakob mengakui, sebagian besar warga negara dalam berbagai survei puas dengan bekerjanya sistem demokrasi dan pelaksanaannya di Indonesia. Namun, ketika demokrasi prosedural gagal mewujud menjadi demokrasi substansial, demokrasi yang langsung menjawab dan mencari solusi atas permasalahan riil bangsa, gugatan akan praktik demokrasi itu akan selalu muncul.

”Gugatan akan sistem politik demokrasi akan selalu muncul ketika hak ekonomi, sosial, dan budaya tidak terpenuhi, sementara yang mengedepan hanya hak sipil dan politik. Sistem politik demokrasi akan selalu memunculkan gugatan saat rakyat tetap melarat, pengangguran tetap membengkak, rakyat tak memiliki daya beli, dan rakyat tak merasakan kehadiran negara ketika berada dalam kesulitan,” kata Jakob Oetama lagi.

Masyarakat horizontal

Pakar pemasaran Hermawan Kartajaya mengingatkan, pemilu adalah politik pemasaran (marketing) dan kini masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang horizontal. ”Kondisi masyarakat Indonesia tahun 2008 sangat berbeda dengan kondisi masyarakat tahun 1998. Kondisi sekarang sangat horizontal. Karena itu, strategi marketing partai sekarang juga harus berbeda dengan cara menghadapi masyarakat Indonesia tahun 1998,” ujarnya.

Secara umum, Hermawan mengatakan, yang terpenting dalam marketing adalah positioning, diferensiasi, dan merek. Jika itu bisa dilakukan, partai akan mendapat sambutan yang baik dari masyarakat. ”Kita berada dalam masyarakat yang sejajar. Jadi, harus terjun langsung. Kita harus tahu siapa pesaing dan pelanggan sehingga tahu harus berbuat yang terbaik,” ujarnya. (MAM/TRA)

Jumat, 08 Agustus 2008

Partisipasi Pemilih

Separuh Pilkada Gubernur "Dimenangi" Golput
Jumat, 8 Agustus 2008 | 00:32 WIB 

Jakarta, Kompas - Dari 26 pemilu kepala daerah tingkat provinsi yang dilakukan pada 2005-2008, 13 pemilu gubernur di antaranya ”dimenangi” oleh golongan putih atau golput. Artinya, jumlah dukungan suara bagi gubernur pemenang pilkada kalah dibandingkan dengan jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya.

Kondisi itu tercermin dalam data tentang partisipasi pemilih yang dipublikasikan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) dalam ”Fenomena Golput dalam Pilkada dan Potensi Golput pada Pemilu 2009” di Jakarta, Kamis (7/8).

”Kemenangan” golput terjadi pada pemilu kepala daerah di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Bengkulu, dan Banten. Kondisi serupa terjadi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur putaran I, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara.

Pemilu kepala daerah Jateng dimenangi oleh pasangan Bibit Waluyo-Rustriningsih dengan 6.084.261 suara. Namun, jumlah golput di Jateng mencapai 11.854.192 suara. Sementara itu, pemilu kepala daerah Jabar dimenangi pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf dengan perolehan 7.287.647 suara. Namun, jumlah pemilih yang golput mencapai 9.130.594 suara.

”Rendahnya partisipasi pemilih ini membuat legitimasi gubernur-wakil gubernur terpilih sangat rendah di mata rakyatnya sendiri,” kata Koordinator Nasional JPPR Jeirry Sumampow.

Pemilu kepala daerah kabupaten/kota mengalami hal sama. Dari 130 kabupaten/kota yang menyelenggarakan pemilu, 39 pemilu kepala daerah kabupaten/kota ”dimenangi” golput.

Besarnya jumlah golput dalam pemilu kepala daerah diprediksi akan merembet ke pemilu anggota DPR, DPD, DPRD, dan pemilu presiden pada 2009. Hal ini terjadi karena sistem pendataan pemilih dalam pemilu mendatang sama dengan pemilu kepala daerah yang menempatkan masyarakat sebagai pihak yang aktif. Cara ini jelas tidak akan menghasilkan data pemilih yang baik.

”Buruknya pendataan pemilih merupakan sumber utama golput. Golput yang disebabkan apatisme pemilih atau kemalasan pemilih relatif kecil jumlahnya,” ujar Jeirry.

Anggota Departemen Seni Budaya, Pariwisata, dan Pemberdayaan Perempuan Partai Golkar, Nurul Arifin, mengatakan, untuk meningkatkan partisipasi pemilih dalam pemilu, partai politik harus gigih mendidik pemilihnya. Hal ini sangat diperlukan di tengah semakin memburuknya citra partai politik.

Dorongan parpol

Untuk itu, parpol perlu menjual calon anggota legislatif yang benar-benar berkualitas pada pemilu mendatang. Pola pikir masyarakat yang semakin kritis dan kompetitifnya persaingan antarparpol menuntut parpol untuk mengusung calon anggota legislatif yang layak dan bisa diterima masyarakat.

Parpol juga harus mendorong konstituennya agar mereka sadar dan mau menggunakan hak pilihnya. (MZW)

Pemimpin Nasional

Parpol Harus Cari Orang Berkualitas 
Jumat, 8 Agustus 2008 | 03:00 WIB 

Depok, Kompas - Partai politik harus bisa mencari orang berkualitas untuk memimpin negara ini. Selain itu, pemimpin yang diajukan juga harus memiliki keberpihakan yang jelas kepada rakyat. Jika tidak, jangan harapkan kesejahteraan rakyat yang diharapkan bisa terwujud.

Hal itu disampaikan Sultan Hamengku Buwono X dalam seminar penutupan Konferensi Warisan Otoritarianisme di FISIP Universitas Indonesia, Depok, Kamis (7/8). Sultan didampingi politisi senior Partai Golkar Akbar Tandjung, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Pramono Anung, dan Nursyahbani Katjasungkana dari Partai Kebangkitan Bangsa.

”Salah satu cara mencari pemimpin berkualitas adalah dengan tidak menjadikan modal sebagai faktor utama dalam proses politik dan demokratisasi di Indonesia,” ujar Sultan.

Dia mencontohkan sejumlah pernyataan pemimpin yang tidak seharusnya dilakukan jika ingin menyejahterakan rakyat, di antaranya pernyataan yang mengaitkan pemberian kemudahan kepada investor agar mereka mau berinvestasi di Indonesia.

”Ini omong kosong jika ada yang mengatakan kalau kita tidak mau memberikan kemudahan, investor tak akan datang. Namanya investor, mereka akan mencari peluang yang menguntungkan jika mereka melihat peluang yang menguntungkan di Indonesia. Meskipun harus ikut aturan, mereka tetap akan datang,” ujarnya.

Akbar mengatakan, parpol saat ini memang diberikan kesempatan untuk melahirkan kepemimpinan. Itu sebabnya masyarakat perlu mendorong partai agar mampu mengajukan calon pemimpin yang bisa mengatasi beragam problem negara. Selain itu, seorang pemimpin juga harus memberi perhatian terhadap masalah yang dihadapi rakyat.

”Yang tak kalah penting adalah pemimpin harus berani mengambil keputusan yang tegas dan bisa menjadi solusi bagi problem rakyat,” ujarnya.

Itu sebabnya, menurut Akbar, seorang pemimpin tidak bisa tiba-tiba muncul di pentas politik. Seorang pemimpin juga harus mengalami pahit getirnya menghadapi beragam persoalan masyarakat. ”Tanpa itu semua, rasanya sulit mengharapkan pemimpin yang baik dan bisa memberi solusi bagi masyarakat,” ujarnya.

Pramono sepakat bahwa partai harus melahirkan calon pemimpin yang memiliki kredibilitas. Itu sebabnya partainya mengharapkan bisa mengajak orang- orang yang punya kredibilitas yang baik dari perguruan tinggi dan secara moral juga tidak mempunyai masalah.

”Sayangnya, memang proses demokratisasi yang terjadi saat ini lebih banyak menghasilkan kegaduhan politik ketimbang kesejahteraan yang diharapkan,” ujarnya. (MAM)
   


Kader Partai


Parpol Harus Kaderisasi, Bukan Hanya Cari Artis
Jumat, 8 Agustus 2008 | 00:31 WIB 

Depok, Kompas - Partai politik idealnya membangun basis massa dan menyediakan jalur kaderisasi yang baik. Dengan demikian, parpol tak kesulitan mencari orang ketika membutuhkan kader yang akan diajukan sebagai calon anggota legislatif, kepala daerah, ataupun presiden.

”Kalau kaderisasi dilakukan, partai tidak akan mencari-cari artis yang ditempatkan sebagai penjaring suara,” kata dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia, Andrinof Chaniago, di Depok, Kamis (7/8). ”Partai yang terlalu mengandalkan artis yang semata-mata bermodalkan ketenaran adalah tanda dari partai yang gagal secara institusional,” ujarnya.

Menurut Andrinof, kalau suatu partai yang sudah berusia lebih dari 10 tahun masih saja lebih mengandalkan artis untuk menarik suara, karena tidak punya sejumlah kader andal hasil bentukan sendiri, mereka tidak mampu memfungsikan organisasi partai bekerja dengan solid dan agresif. Itu berarti pimpinan dan pendiri partai tersebut gagal membesarkan partainya.

”Lebih menyedihkan lagi kalau kegagalan itu mau ditutup dengan memburu para artis untuk dijadikan caleg,” ujarnya.

Menurut Andrinof, amat disayangkan kalau hal ini dilakukan partai yang semula menjanjikan pencerahan dan ingin memelopori reformasi. Kenyataannya parpol saat ini malah banyak yang berbalik melakukan pembodohan terhadap masyarakat dan menggiring politik menjadi hamba industri hiburan.

Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Pramono Anung mengakui, jika partai politik tidak melakukan pendidikan yang baik melalui sistem kepartaian, masyarakat bisa semakin mencibir partai dan kualitas wakil rakyat di DPR.

”Apalagi, jika partai memilih orang-orang baru yang sama sekali tidak punya pengalaman politik, dan mereka berpikir bisa menyelesaikan persoalan bangsa, maka kesejahteraan yang diinginkan akan semakin jauh,” ujarnya.

Pramono sangat prihatin dengan parpol yang mendorong artis-artis ke panggung politik, hanya dengan pertimbangan memiliki popularitas. (MAM)

Kamis, 07 Agustus 2008

Parlemen Korup?

Oleh Bambang Widjojanto

Kejahatan nyaris sempurna. Konspirasi sistematis dan terstruktur Komisi IX DPR periode 1999-2004 setelah hampir lima tahun baru dapat dibongkar.

Fakta tersangkutnya hampir semua anggota Komisi IX tak lagi fenomena ”gunung es”, tetapi lebih tepat asap pekat dari api korupsi yang masif di parlemen.

Dewan adalah pemegang mandat yang berwenang mengawasi, untuk merepresentasi kepentingan ”daulat rakyat” guna mengawasi penggunaan kekuasaan yang melekat pada eksekutif, termasuk Bank Indonesia. Pada era 1999-2004, parlemen dalam masa kritis karena merupakan periode pertama kekuasaan pascapenjatuhan Orde Baru.

Parlemen periode itu harus bersih sebab salah satu karakter dasar untuk menjatuhkan Orde Baru adalah karena sifatnya yang koruptif, kolusif, dan nepotistik dalam menjalankan kekuasaan, dan tak memihak kepentingan sebagian besar rakyat.

Anggota Komisi IX DPR seharusnya melakukan shift of paradigm untuk tidak lagi bersikap dan berperilaku serupa rezim terdahulu. Jika parlemen prareformasi biasa disebut rubber stamp yang menjustifikasi kepentingan kekuasaan, anggota Komisi IX periode 1999-2004 layak disebut ”perompak reformasi” karena ”memeras” pihak yang seharusnya diawasi atau berkolusi bersama pihak yang diawasi untuk melakukan korupsi yang merugikan keuangan negara.

Terkait

Yang amat memilukan, aliran dana sekitar Rp 21,6 miliar itu terkait kejahatan lain berupa ”Skandal BLBI” yang diduga dilakukan petinggi Bank Indonesia. Skandal itu merugikan negara lebih dari Rp 1.000 triliun, terwujud dalam kebijakan recovery perbankan pascakolapsnya sistem perbankan di Indonesia seusai krisis keuangan pada tahun 1990-an. Bukankah ini potret kejahatan tak terperikan dan luar biasa?

Suatu komisi yang diberi mandat untuk mengawasi dan memeriksa dugaan kejahatan yang membuat ”bangkrut" bangsa dan ”memperparah” kemiskinan justru ”menghalalkan” kejahatan itu. Padahal, mereka bertindak untuk dan atas nama rakyat. Mereka pun seharusnya berpihak pada kepentingan rakyat yang terus ”didera” kemiskinan.

Pada setiap kejahatan suap- menyuap, apalagi yang advanced dan sophisticated, penyuap dan yang disuap sama-sama berkepentingan untuk melindungi kejahatan itu. Pada jenis ini, kasus hanya dapat dibongkar jika ada ”orang dalam” yang mau menjelaskan kejahatan itu disertai kecanggihan penyelidikan yang dilakukan penegak hukum yang mempunyai integritas tinggi.

Apakah hanya Komisi IX periode 1999-2004 saja yang melakukan korupsi? Banyak kalangan meyakini, hampir semua anggota parlemen terlibat perilaku dan karakter koruptif serta kolusif meski asas praduga tidak bersalah tetap harus dihormati.

Bila pertanyaan yang sama diajukan lagi, apakah sikap dan perilaku koruptif anggota parlemen 2005-2009 lebih baik daripada periode sebelumnya?

Fakta menunjukkan, beberapa kasus terkait anggota Dewan yang kini sedang diperiksa Pengadilan Khusus Tipikor, mengindikasikan belum sepenuhnya ada yang berubah. Bupati Bintan Ansar Ahmad dalam kesaksian pada kasus Al Amin Nasution menyatakan, ”Ketua Komisi IV DPR Jusuf Amir Feisal dan Wakil Ketua Komisi IV Hilman Indra minta disediakan uang 700.000 dolar Singapura untuk semua anggota Komisi IV DPR terkait urusan pelepasan hutan lindung” (Kompas, Selasa, 29/7).

Memotong potensi korupsi

Ada tiga hal yang harus diimplementasikan dan dikaji guna memotong potensi korupsi di parlemen.

Pertama, akuntabilitas penggunaan kewenangan Dewan harus ditingkatkan. Cakupan kewenangan Dewan yang terlalu besar sehingga terjadi legislative heavy harus dikaji ulang. Kontrol atas penggunaan kewenangan yang bersifat internal dan eksternal diperkuat dengan melibatkan kontrol publik yang bersifat masif dan lebih berkualitas. KPK harus meningkatkan kebijakan cooperated suspect dan whistle blower system, selain menjaga integritas dan profesionalitasnya.

Kedua, hilir dan hulu parlemen ada di partai. Partai menjadi pilar penting parlemen. Perombakan mendasar pada perekrutan dan pengaderan partai harus dilakukan secara paripurna. Tidak lagi dapat ditoleransi calon anggota Dewan didasarkan atas kedekatan dengan elite partai atau seleksi di kalangan elite partai tidak dilakukan. Padahal, tidak seluruh elite partai mempunyai profesionalitas dan integritas tinggi. Partai tidak dapat melepaskan tanggung jawab atas sikap dan perilaku anggotanya di parlemen.

Ketiga, jangan ”bunuh” KPK dan ”Pengadilan Khusus Tipikor”. Kedua lembaga itu dapat menjadi instrumen untuk membangun mekanisme check and balances karena kewenangan Dewan hampir tidak ada kontrolnya. Pada parlemen harus mulai dikembangkan mekanisme ”audit kewenangan” dan ”analisis risiko” yang bersifat internal oleh lembaga independen. Badan Kehormatan yang lebih bersifat sebagai ”pemadam kebakaran” tidak lagi cukup mengatasi nafsu penyalahgunaan kewenangan di parlemen.

Bambang Widjojanto Dewan Etik ICW; Dosen Universitas Trisakti; Anggota Komisi Nasional Kebijakan Governance
   


Korupsi dan Delegitimasi DPR

Oleh Syamsuddin Haris

Hamka Yandhu akhirnya membeberkan aliran dana haram Bank Indonesia sebesar Rp 24 miliar kepada 52 anggota Komisi IX DPR 1999-2004. Sungguh mencengangkan.

Sebelumnya, kita terperangah oleh laporan Kompas tentang sebaran kasus korupsi yang melanda semua cabang pemerintahan—eksekutif, legislatif, dan yudikatif—di pusat dan daerah dari ujung barat hingga timur Tanah Air. Apa yang terjadi dengan republik ini?

Pengakuan anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar itu mengingatkan kita pada temuan Transparency International Indonesia (TII) 2006-2007, parlemen merupakan salah satu lembaga terkorup di Indonesia selain instansi kepolisian dan lembaga peradilan. Selain Hamka dan Anthony Zeidra Abidin dalam kasus aliran dana BI, beberapa orang anggota DPR kini menjadi tersangka kasus suap pengalihan hutan lindung di Kepulauan Riau dan Sumatera Selatan. Sebelumnya, kita dikejutkan kasus-kasus korupsi bersama di DPRD-DPRD kabupaten, kota, dan provinsi sehingga sebagian di antara mereka dikirim ke penjara.

Temuan TII itu sempat membuat geram beberapa anggota DPR. Namun, dengan terungkapnya sejumlah kasus korupsi dan suap yang diterima wakil rakyat, tak ada lagi yang bisa digerami DPR kecuali keserakahan yang melekat pada diri sebagian anggota. Namun, mengapa kasus suap dan korupsi merajalela dalam era reformasi?

Mengapa korupsi melembaga?

Dalam konteks DPR, ada beberapa penjelasan yang melatarbelakanginya. Pertama, struktur kekuasaan DPR telah begitu meluas sehingga dapat dikatakan, hitam- putihnya negeri ini ditentukan partai-partai di DPR. Pengalihan locus fungsi legislasi dari presiden ke DPR melalui amandemen konstitusi memberikan peluang bagi Dewan untuk memperluas otoritasnya melebihi yang seharusnya dimiliki parlemen dalam skema sistem presidensial. Pengangkatan pejabat publik, mulai anggota komisi-komisi negara, hakim agung, pimpinan KPK, pimpinan BPK, dan pimpinan BI, kini menjadi otoritas DPR sehingga fungsi presiden sekadar mengusulkan nama, lalu mengesahkan melalui surat keputusan presiden (keppres).

Kedua, pemerintah cenderung membiarkan terbangunnya relasi yang bersifat politik-transaksional dengan DPR ketimbang relasi yang bersifat institusional. Transaksi tertutup berlangsung saat presiden dan DPR bersepakat melalui rapat-rapat konsultasi akhirnya meredam usul hak interpelasi atau hak angket Dewan. Hak angket impor beras, misalnya, kandas setelah berlangsung lobi setengah kamar antara pemerintah dan pimpinan fraksi DPR di Hotel Dharmawangsa. Transaksi paling telanjang dialami para pejabat eselon I (sekjen atau sektama) saat berhadapan dengan Panitia Anggaran DPR dalam menegosiasi alokasi anggaran masing-masing departemen dalam struktur APBN. Sedangkan transaksi skala kecil berlangsung hampir tiap pekan di lobi atau kafe hotel-hotel berbintang di Jakarta antara anggota DPR dan pejabat daerah untuk mengurus dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana bagi hasil, atau ”biaya sosialisasi” terkait pemekaran daerah.

Ketiga, pendangkalan pemahaman para wakil rakyat terhadap esensi politik, partai politik, parlemen, dan hakikat keterlibatan mereka dalam kehidupan politik nasional. Politik didistorsikan secara konkret sekadar sebagai kekuasaan sehingga perdebatan tentang moralitas atau etika, hati nurani, dan keberpihakan pada penderitaan rakyat tidak lagi relevan bagi sebagian politikus kita. Partai politik cenderung dipraktikkan sebagai tempat untuk ”mengambil” ketimbang wadah untuk mengabdi bagi Ibu Pertiwi seperti diteladani para pendiri bangsa kita. Akibatnya yang terbentuk adalah—meminjam ungkapan Mochtar Pabottingi—situasi ”tinggal rebut, tinggal jarah” yang tiada taranya. Ironisnya, berbagai undang-undang bidang politik yang selalu direvisi menjelang pemilu cenderung didesain untuk melestarikan situasi tidak sehat ini.

Delegitimasi DPR

Apabila pengakuan Hamka Yandhu di Pengadilan Tipikor hanya sebagian kecil dari gunung es kasus dugaan suap dan korupsi yang melanda DPR, maka kepercayaan publik terhadap Dewan saat ini sedang merosot ke titik nadir. Proses delegitimasi ini tentu dikhawatirkan berdampak pada antusiasme masyarakat terhadap Pemilu 2009. Fenomena pilkada provinsi, kabupaten, dan kota yang ditandai tingkat partisipasi pemilih yang relatif rendah jelas mengindikasikan berlangsungnya proses delegitimasi terhadap partai-partai, para kandidat yang diajukan partai, dan format pilkada itu sendiri.

Karena itu, sebelum benar-benar terlambat, partai-partai yang berkuasa saat ini perlu mengoreksi diri guna memulihkan kepercayaan dan mandat yang diperoleh dalam pemilu sebelumnya. Persoalannya, delegitimasi yang dialami partai-partai dan DPR pada dasarnya merupakan delegitimasi terhadap pemerintahan hasil Pemilu 2004. Pertanyaannya kemudian, perlukah bangsa ini menggelar pemilu yang menelan biaya triliunan rupiah hanya untuk menghasilkan partai, parlemen, dan pemerintahan yang tidak berpihak kepada penderitaan rakyat?

Barangkali itulah sebagian paradoks demokrasi. Sebagai konsekuensi logis bangsa kita memilih jalan demokrasi, apa boleh buat pemilu tetap harus digelar sebagai cara damai untuk mengganti para wakil rakyat yang tak memiliki nurani. Karena itu, Pemilu 2009 mendatang justru bisa menjadi momentum bagi kita untuk ”menghukum” para wakil rakyat dan partai-partai yang tidak bertanggung jawab dengan cara tidak memilihnya.

Sekarang persoalannya kembali kepada para wakil rakyat dan segenap elite politik, apakah masih mempertahankan kultur ”memperdagangkan” kekuasaan yang dimiliki atau kembali ke jalan yang benar, jalan lurus yang telah diteladani para pendiri bangsa kita. Mungkin biarlah sejarah yang kelak menjawabnya.

Syamsuddin Haris Profesor Riset Ilmu Politik LIPI
   


Membangun Poros Islam

Oleh Imam Prihadiyoko

Apa yang diinginkan dengan gagasan ini? Sekadar ingin membangkitkan ruh Masyumi yang tetap hidup di alam bawah sadar aktivis dan politisi Islam atau karena menemukan realitas baru yang berusaha hadir dalam kekinian? Apalagi, ghiroh keislaman semakin lama semakin dirasakan kehadirannya.

Adalah Hizbut Tahrir Indonesia yang secara awal mengungkap ide untuk membangun poros Islam. Ide itu digulirkan dalam diskusi rutinnya yang digelar pada pertengahan Juli lalu.

Gagasan membangun koalisi partai Islam atau yang berbasis massa Islam ini juga diungkapkan Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Chozin Chumaidy, meskipun dengan argumentasi yang lebih pragmatis, yaitu untuk membentuk pemerintahan yang lebih kuat dan efektif.

Chozin Chumaidy mengaku partainya memang punya keinginan untuk membangun poros atau koalisi dengan sejumlah partai yang mempunyai kesamaan platform. Usaha itu dimulai dengan mendekati partai Islam atau yang berbasis massa Islam.

Meski diakuinya belum ada usaha yang lebih sistematis dan formal untuk menjajaki usaha itu, ia menargetkan aliansi strategis itu bisa terbentuk setelah pemilu legislatif.

Bagi PPP, keinginan untuk membentuk aliansi strategis ini lebih didasarkan pada ikhtiar untuk mewujudkan pemerintahan yang kuat dan menyelesaikan transisi demokrasi yang sudah berlarut-larut. Itu sebabnya PPP juga mengharapkan pemilihan presiden dilakukan setelah pemilu legislatif. Tujuannya agar partai bisa mengukur kekuatan dan mengajukan presiden yang diharapkan bisa mendapat dukungan mayoritas politik.

Sekretaris Jenderal PPP Irgan Chaerul Mahfiz mengungkapkan pandangan yang sama. Kemungkinan pembangunan poros Islam bisa saja. Apalagi basis ideologinya sama sehingga mempermudah untuk penyesuaian sikap politik, visi, dan misinya, terutama menyelesaikan persoalan-persoalan kemasyarakatan dan bangsa.

Irgan mengungkapkan, aliansi antarpartai Islam seperti itu sudah sering dilakukan, baik dalam pilkada kabupaten/kota maupun provinsi. Bahkan, ketika pemilu presiden tahun 1999, koalisi Islam ini mendukung Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur. Poros Islam ketika itu bukan hanya berhasil menempatkan Gus Dur sebagai presiden, tetapi juga Amien Rais sebagai Ketua MPR.

Satu kelebihan beraliansi parpol Islam adalah mengawal aspirasi umat sehingga tidak terpecah-pecah dan jika dirawat terus, bisa jadi mengarah pembentukan satu parpol Islam. Kalau itu bisa terwujud, keinginan banyak pihak akan ada penyederhanaan partai bisa dimulai oleh partai Islam atau partai berbasis massa Islam.

Tidak mudah

Keinginan Hizbut Tahrir dan PPP, atau keinginan alam bawah sadar umat Islam untuk punya kekuatan politik yang menyatu, tampaknya memang tidak mudah diwujudkan. Apalagi, partai Islam lain juga meragukan efektivitas poros Islam ini.

Ketua Umum Partai Bintang Reformasi Bursah Zarnubi bahkan menolak ide membangun poros Islam tersebut. Menurut dia, usaha itu bukan saja tidak efektif karena hanya simbolis saja, tetapi menimbulkan kekhawatiran terhadap usaha rekonsiliasi nasional.

”Terus terang saya khawatir pembuatan poros Islam ini hanya akan membangkitkan kelompok sebaliknya untuk membangun hal yang sama. Kalau ini yang terjadi, kan sangat merugikan bangsa ini,” ujarnya.

Kekhawatiran yang sama, meskipun dengan alasan berbeda, juga disampaikan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring. Menurut dia, usaha membangun poros Islam itu justru bisa kontraproduktif. Ada kekhawatiran muncul lagi pengotak-kotakan masyarakat berdasarkan kekuatan ideologi nasionalis dan agama. Agama ini pun lebih ditujukan kepada Islam. Jadi, polarisasi nasionalis dan Islam bisa muncul lagi jika poros Islam dibangkitkan.

Padahal, menurut Tifatul, PKS menyadari kekuatan partai Islam atau partai yang berbasiskan massa Islam jumlahnya masih lebih kecil ketimbang pendukung partai-partai nasionalis.

”Saya terus terang khawatir, meskipun setuju saja jika memang aliansi strategis partai Islam ini dibangun. Namun, harus diiringi dengan sejumlah aksi yang konkret,” ujarnya.

Meski demikian, Tifatul masih tetap meyakini bahwa presiden dan wakil presiden haruslah menggabungkan representasi kekuatan nasionalis-Islam, Jawa-non Jawa, dan sipil-militer.

”Tanpa gabungan representasi kekuatan ini, rasanya sangat sulit untuk membangun kekuatan politik yang bisa memenangi pemilihan presiden dan wakil presiden mendatang,” ujarnya.

Apakah ini menjadi semacam proses bagi pendewasaan umat Islam, hanya sejarahlah yang akan membuktikannya.

Suap DPR

Oleh Teten Masduki

Pengaruh uang di parlemen mulai menampakkan wajah aslinya. Satu per satu kedok suap- menyuap anggota DPR mulai terkuak.

Daftar mereka mungkin akan kian panjang karena sejak pendulum kekuasaan bergeser dari eksekutif ke DPR di era reformasi, indikasi penyimpangan kekuasaan di DPR sudah menyebar dalam tiap fungsi parlemen, dalam hubungan dengan institusi pemerintah, negara, dan bisnis.

Dari delapan kasus suap di DPR yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi, suap-menyuap itu terkait kebijakan resmi yang dibuat oleh komisi-komisi di DPR. Artinya, jika ada, pengaruh uang dalam setiap kebijakan itu bukan tindakan perorangan atau oknum, tetapi produk kolektif. Tentu saja seperti dalam teori hubungan korupsi dan demokrasi, pengaruh korupsi akan memusatkan perhatian kepada politisi yang paling murah dibeli (Rose-Ackerman, 2000).

Penting dikaji lebih jauh tipologi suap di DPR. Apakah karena inisiatif si penyuap atau karena ada unsur pemerasan?

Pengakuan terdakwa Azirwan dalam kasus Al Amin dan pengusaha rekanan dalam kasus Bulyan Royan di pengadilan mengonfirmasikan adanya keadaan yang memaksa mereka harus menyediakan uang atau gratifikasi dalam bentuk lain. Tentu saja akibatnya sama: kedua pihak tidak mau mematuhi asas kebijakan umum yang lazim. Di sini regulasi atau persyaratan good governance dijadikan rintangan sehingga mereka yang mau menghindari harus membayar.

Realitas itu menarik untuk menyusun cara membongkar jaringan suap di DPR. Saya yakin jika KPK menempatkan si penyuap sebagai peniup peluit dan berani mengambil diskresi untuk mengabaikan mereka dari tuntutan hukum akan banyak anggota DPR yang masuk bui. Tawaran ini rasanya akan disambut kalangan ”korban” dari pemerintah dan bisnis daripada mereka harus menerima risiko yang sama diadili. Dalam pembicaraan informal, kalangan pemerintah dan bisnis sering mengeluhkan, setiap interaksi dengan anggota parlemen, baik melalui undangan rapat dengar pendapat, pembahasan undang-undang, maupun kunjungan kerja, mereka harus menyediakan apa yang kadang disebut amplop, ucapan terima kasih yang tak lazim.

Konvensi Menentang Korupsi OECD (2002) memang masih menoleransi perusahaan untuk memberi facilitating payment kepada pemegang otoritas atas jasa-jasa kecil, tetapi signifikan untuk memperlancar urusan bisnis yang dipersulit tanpa alasan, tetapi tidak untuk mendapatkan kontrak bisnis.

Kepentingan umum

Menangkap bandit besar dengan bandit kecil adalah moralitas universal perang terhadap kejahatan terorganisasi. Yang harus diperhitungkan dalam upaya ini adalah kepentingan umum adanya sistem politik yang bersih. Ke depan, parpol yang tak mau kehilangan suara dalam sistem pemilu yang mengarah kepada kandidat mungkin harus melakukan perbaikan sistem pemilu internal yang lebih demokratis untuk memilih kader-kader mereka yang berkualitas dan jujur.

Meski probabilitas politisi kotor untuk tertangkap masih rendah—karena relatif sedikit jumlah mereka yang diadili sehingga belum menakutkan mereka untuk berhenti korupsi—tidak berlebihan jika pujian diberikan kepada KPK yang mulai membidikkan sasaran ke arah tepat.

KPK jilid pertama sama sekali tidak menyentuh DPR meski ada dua mantan menteri yang sudah dibui. Barometer Korupsi Global Transparency International selama tiga tahun terakhir sejak 2005 menempatkan tiga pilar demokrasi—yaitu parpol, DPR, dan aparat penegak hukum—ada dalam wilayah mother of corruption, yang mengakibatkan korupsi memiliki sistem imunitas sendiri.

Pergeseran korupsi dari model predatori zaman Soeharto ke model transaktif pada kekuasaan politik yang terfragmentasi sejak Pemilu 1999 telah memperlihatkan korupsi yang menyebar, kecil-kecil dan acap berdiri sendiri, tetapi cenderung tidak terkendali karena tak ada lagi raja bandit yang ditakuti utuk menjaga batas-batas kleptokrasi.

Celakanya, seperti Andrew McIntire (2003) bilang, dalam sistem kekuasaan yang menyebar, sulit melakukan perubahan yang cepat. Ini berbeda dengan Pemerintah China yang dapat melakukan pemberantasan korupsi secara efektif melalui tindakan hukum yang keras terhadap pemuka-pemuka Partai Komunis yang duduk dalam pemerintahan, dan reformasi birokrasi di tingkat daerah untuk memperbaiki kualitas pelayanan umum.

Dalam kleptokrasi yang masih lemah seperti sekarang, tidak sekuat bandit menetap (Olson, 1993), ada kecenderungan memelihara kesemrawutan birokrasi untuk memaksimalkan kemungkinan korupsi.

Karena itu, program reformasi birokrasi untuk menutup setiap peluang korupsi sulit dilaksanakan di sini. Lihat hasil reformasi birokrasi di kejaksaan dan Mahkamah Agung, misalnya. Kita berharap reformasi di Departemen Keuangan akan berjalan lancar meski di Bea dan Cukai kedodoran sehingga para pengusaha banyak mengeluh karena diperlambat, padahal gaji mereka ada yang hampir sepuluh kali lipat.

Dari sisi penegakan hukum, level korupsi yang ditangani KPK dan kejaksaan hingga kini mayoritas baru menyentuh pejabat menengah ke bawah. Dari 175 orang yang telah divonis, 38 persen adalah pejabat menengah dan 61 persen pejabat rendahan (ICW, 2007). Karena itu, wajar jika pengaruhnya masih kecil meski jumlah kasus korupsi yang dibongkar meningkat dan mendapat liputan luas media, tetapi sepertinya belum menyurutkan mereka untuk berhenti korupsi. Lihat, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun lalu turun dari 2,4 (2006) ke 2,3 (2007).

Bunuh diri?

Mungkin langkah KPK mengarahkan salah satu targetnya ke DPR dinilai sebagai bunuh diri. Soalnya, bisa saja DPR menarik kembali mandatnya dari KPK dan menjadikannya komisi ompong seperti komisi yang lain.

Suara-suara ke arah itu sudah lama diteriakkan sejumlah anggota Komisi Hukum di DPR yang ingin menghapus kewenangan KPK dalam hal penyadapan yang terbukti jitu menangkap koruptor, termasuk gagasan mengembalikan Pengadilan Tipikor di bawah pengadilan umum.

Intervensi politik serupa pernah terjadi saat Jaksa Agung Mr Soeprapto mengadili atasannya, Menteri Kehakiman Mr Jodi Gondokusumo, akhir 1950-an, yang juga pemimpin parpol.

Masalahnya, kini KPK tak bisa mundur. Sang gladiator hanya punya satu kesempatan: ”membunuh” atau ”dibunuh”. Ingat, perlawanan dari persekongkolan elite koruptor untuk mematikan KPK bisa lewat banyak pintu: dipenggal lewat DPR atau Mahkamah Konstitusi, bisa juga disusupi agen koruptor.

Teten Masduki Aktivis Antikorupsi

Menegaskan Presiden Antikorupsi

Oleh Denny Indrayana

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah memutuskan mempertahankan dua menterinya, Paskah Suzetta dan MS Kaban. Alasannya, ia menunggu proses hukum kasus aliran dana Bank Indonesia yang lebih komprehensif.

Pemberhentian sementara dilakukan jika keduanya menjadi terdakwa. Pemberhentian tetap dilakukan jika keduanya dinyatakan bersalah oleh putusan pengadilan. Tepatkah kebijakan hukum yang diambil Presiden?

Tak bisa dihindarkan, kebijakan Presiden Yudhoyono akan dipandang sebagai langkah inkonsisten dibandingkan keputusan pemberhentian dua menteri sebelumnya, Yusril Ihza Mahendra dan Hamid Awaludin. Amat jelas saat itu, Yusril dan Hamid diberhentikan karena ciri problem yang sama. Keduanya diberitakan terlibat tindak pidana korupsi membantu transfer uang Tommy Soeharto dari Bank Paribas. Kala itu Presiden tak menunggu proses hukum pidana yang komprehensif. Ia mengganti keduanya.

Ada dua pendekatan hukum berbeda yang dilakukan Presiden. Dalam kasus Yusril dan Hamid, Presiden lebih mengedepankan pendekatan hukum tata negara dengan menyatakan pengangkatan dan pemberhentian anggota kabinet adalah hak prerogatif Presiden. Jadi tidak perlu menunggu putusan pengadilan. Pada kasus Paskah dan Kaban, Presiden berubah haluan dengan mengutamakan pendekatan hukum pidana, yang prinsipnya menunggu putusan pengadilan memastikan seseorang bersalah atau tidak.

Pendekatan hukum tata negara dan pidana seharusnya tidak dipisahkan, apalagi dipertentangkan. Keduanya sebaiknya dipadukan. Presiden tidak keliru jika menggunakan hak prerogatifnya memberhentikan Paskah dan Kaban. Jangankan seorang presiden, Jaksa Agung Hendarman Supandji saja tanpa menunggu proses hukum, dengan informasi dan alat bukti yang tersedia, mencopot posisi jaksa agung muda dari Kemas Yahya Rahman dan Untung Udji Santoso. Dalam kasus serupa tetapi tak sama, Mahkamah Agung mencopot Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat Khaidir tanpa menunggu proses hukum pidana setelah ada indikasi kuat yang bersangkutan meminta dana main golf ke China bagi beberapa hakim agung.

Presiden dengan hak prerogatifnya setiap saat berwenang mengevaluasi dan mencopot anggota kabinetnya. Tentu setelah mendapat data, informasi, dan bukti yang menunjukkan kuatnya keterlibatan kedua menteri dalam kasus aliran dana BI. Adalah keputusan terlalu dini segera mempertahankan atau memberhentikan Paskah dan Kaban, dengan hanya bersandar pada pengakuan dua menteri itu. Presiden sebaiknya mengumpulkan informasi dan data dari pihak ketiga, terutama Badan Pemeriksa Keuangan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), serta Komisi Pemberantasan Korupsi.

Informasi dari BPK tentu diperlukan karena mereka yang pertama kali melakukan audit dan menemukan ada penyimpangan aliran dana BI. Data dari PPATK terkait kemungkinan aliran dana BI tercatat dalam rekening Paskah atau Kaban. KPK perlu didengar karena mereka kini yang melakukan investigasi profesional atas kasus aliran dana BI. Proses meminta informasi ini harus dilakukan dengan hati-hati sehingga tidak menjadi bentuk intervensi atas independensi ketiga lembaga, terutama proses penyelidikan yang sedang dilakukan KPK.

Jangan pidana semata

Setelah data, informasi, dan bukti terkumpul, Presiden Yudhoyono bisa mengambil kebijakan lebih tepat dan komprehensif. Paling tidak, ada empat alternatif putusan yang bisa dipertimbangkan: memutuskan untuk mempertahankan keduanya, memberhentikan sementara, memberhentikan permanen, dan memberhentikan permanen serta mendorong proses hukum pidana korupsi atas keduanya.

Sekali lagi, pengambilan keputusan demikian tak wajib menunggu keduanya menjadi terdakwa, apalagi menanti putusan pengadilan yang menyatakan Paskah dan Kaban bersalah. Memberhentikan sementara setelah keduanya resmi terdakwa, seperti disebutkan Presiden dalam kasus Gubernur Ali Mazi, tak tepat diterapkan bagi Paskah dan Kaban. Dalam hal kepala daerah, UU Pemerintahan Daerah mengatur, Presiden hanya berwenang memberhentikan sementara kepala daerah yang didakwa kasus korupsi (Pasal 31 Ayat 1 UU 32 Tahun 2004). Presiden tak dapat langsung mengambil kebijakan appointment and removal kepada kepala daerah karena mereka dipilih melalui pilkada. Ini berbeda dengan kewenangan prerogatifnya yang tiap saat dapat mengangkat atau memberhentikan menterinya.

Pernyataan Presiden Yudhoyono akan memberhentikan sementara setelah Paskah dan Kaban menjadi terdakwa juga tidak tepat karena kasus aliran dana BI ditangani KPK yang tak mengenal mekanisme Surat Perintah Penghentian Penyidikan. Kalaupun menunggu proses pidana, pemberhentian sementara cukup dilakukan setelah keduanya ditetapkan menjadi tersangka. Dalam kasus korupsi yang ditangani KPK (yang tak mengenal SP3), seorang tersangka pasti menjadi terdakwa meski belum tentu jadi terpidana.

Karena itu, mengambil kebijakan atas Paskah dan Kaban semata-mata dari perspektif pidana (setelah keduanya menjadi terdakwa atau setelah ada putusan pengadilan yang menyatakan keduanya bersalah) adalah kebijakan yang terkesan bijak, tetapi sebenarnya nyaris tak mungkin terjadi. Saat ini KPK masih mencari alat bukti lain selain kesaksian Hamka Yandhu di persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi karena satu saksi bukan saksi (testis unus, testis nullus) meski tetap merupakan alat bukti. Kini Hamka Yandhu mendapat tekanan atas kesaksiannya. Program perlindungan saksi harus diberikan kepadanya.

Proses KPK mencari alat bukti lain tentu tidak mudah. Maka, proses pidana atas Paskah dan Kaban—kalaupun ada— akan memakan waktu lama di tengah masa kerja kabinet yang kian pendek. Sebaiknya ada langkah percepatan di luar proses hukum pidana guna menyelamatkan kredibilitas Kabinet Indonesia Bersatu dan menegaskan komitmen Presiden Yudhoyono yang antikorupsi.

Denny Indrayana Ketua Pusat Kajian Antikorupsi, Dosen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada

Inilah Zaman Bandit Berkeliaran

Oleh I Wibowo

Sebanyak 52 anggota DPR terlibat suap. Begitu berita harian ini delapan hari lalu. Banyak orang mengatakan mungkin lebih banyak lagi. Mungkin semuanya. Masyarakat yang tak lagi percaya kepada anggota DPR mengusulkan agar DPR dibubarkan.

Ketika 10 tahun lalu penguasa tunggal dijatuhkan, orang berharap kejadian korupsi sejenis yang dilakukan Soeharto tak akan lagi terjadi karena rakyat akan mengawasinya. Ternyata si pengawas sendiri terlibat korupsi.

Bagaimana ini bisa terjadi? Bukankah setelah kita menjalankan reformasi yang ditegakkan atas dua pilar, demokrasi dan pasar bebas, reformasi mestinya berjalan mulus?

Keganjilan ini dapat diterangkan secara sederhana dengan mengikuti karya Mancur Olson, Power and Prosperity (2000). Olson juga bertanya tentang reformasi, tetapi reformasi di Rusia: mengapa setelah rezim represif runtuh, bukan kesejahteraan yang muncul, melainkan kelompok jaharu? The lifting of the iron curtain revealed something else that the developed nations of the West, whether they had been winners or losers in World War II, did not expect to see: an extraordinary amount of official corruption and Mafia-style crime? Sama seperti kita di Indonesia, reformasi di Rusia juga dijalankan dengan memakai program demokratisasi dan pasar bebas.

Dua macam bandit

Olson menerangkan keanehan ini dengan model bandit menetap (stationary bandits) dan bandit berkeliaran (roving bandits). Pada masa rezim represif, seorang bandit berkuasa, tetapi dia bandit menetap. Artinya, dia tak akan menguras habis wilayahnya. Ia bahkan akan menjaga wilayahnya, memberi keleluasaan kepada penduduknya untuk terus maju. Dengan cara itu, ia akan terus dapat menarik berbagai pungutan yang merupakan sandaran hidupnya. Setelah rezim represif runtuh, muncullah bandit berkeliaran.

Sebagaimana di zaman kuno, jenis bandit ini mendatangi sebuah wilayah, menjarah habis wilayah, lalu pergi. Begitu cara kerjanya. Berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, menguras habis kekayaan di tempat itu tanpa menyisakan apa pun.

Ketika Indonesia di bawah Soeharto, ”orang kuat” ini menguasai seluruh Indonesia dan rakyatnya. Kekuatan Soeharto berhasil membuat semua orang bergantung kepadanya. Sementara itu, orang-orang di sekitar Soeharto merasa senang dan nyaman. Tak hanya mendapat perlindungan, juga sedikit kekayaan. Memang Soeharto terkenal membagi-bagikan kemurahan hatinya kepada semua orang yang mau mengabdinya. Hal ini berlaku bagi pegawai negeri, pengusaha swasta, dan militer.

Maka, penguasa tunggal itu berstatus bandit menetap dan menimbulkan stabilitas yang lumayan sehingga Indonesia dipuji Bank Dunia akan menjadi ”macan Asia”. Hal ini membuat orang percaya, ada hubungan erat antara stabilitas dan sukses ekonomi. Namun, ini merupakan kelihaian Soeharto. Sebagai bandit menetap, ia tak menguras habis kekayaan Indonesia, juga tak mengembangkannya. Ia membiarkan Indonesia pada tingkat tertentu yang cukup bagi penduduk untuk berusaha dan cukup untuk dikuras. Indonesia memang maju, tetapi tak akan pernah maju sampai ke titik maksimal.

Zaman bandit berkeliaran

Menurut Olson, begitu bandit menetap runtuh, muncullah bandit berkeliaran yang tak lagi terikat pada sang ”bos”. Jika mereka semula tertunduk dan terbungkuk di depan bos, kini gerak mereka bebas tak terikat menjalankan perintah apa pun. Tak ada yang ditakuti. Mereka menancapkan diri sebagai pemalak dan pemeras yang siap menjalankan aksinya.

Situasi ini persis sama dengan di Rusia sebagaimana dianalisis Olson. Ketika bandit menetap (Partai Komunis) disingkirkan, muncullah bandit berkeliaran yang menguasai daerah-daerah maupun wilayah kekuasaan lain. Mereka nyaris mengabaikan kendali oleh pusat, bergerak sendiri sesuai dengan kebutuhannya.

Di Indonesia datangnya demokratisasi dan otonomi daerah sejak tahun 1999 memberi sumbangan signifikan bagi meluasnya bandit berkeliaran ini. Sistem yang lebih tepat diberi nama ”demokrasi prosedural” ini pada dasarnya membebaskan rakyat Indonesia dari cengkeraman kekuasaan otoriter Soeharto sekaligus menciptakan banyak aktor dalam perpolitikan Indonesia. Aktor-aktor ini—entah tergabung dengan parpol entah tidak—belajar bagaimana memanipulasi pemilu/ pilkada menjadi kepala eksekutif atau anggota legislatif.

Sistem demokrasi sebenarnya adalah sistem yang tak stabil. Semua politikus—di tingkat nasional, lebih-lebih di tingkat daerah—sadar, kesempatan terus duduk di kursinya hanya sekali itu saja karena sistem demokrasi menuntut rotasi pemimpin. Daripada memanfaatkan masa baktinya secara optimal, mereka malah mendapat insentif menjalankan penjarahan dan menguras habis. Mumpung berkuasa, mereka memanfaatkannya sebaik mungkin.

Khusus tentang anggota DPR/ DPRD. Yang membuat mereka makin kalap dan tak terkendali adalah sistem pemilihan anggota legislatif yang tak menganut sistem distrik: nasib mereka bergantung pada pemimpin umum partai, bukan rakyat tempat pemilihan mereka. Sebagai pion partai, mereka menyetor hasil kepada partai. Dalam sistem ini, oknum memang penting, tetapi partai lebih penting. Hasil sogok- menyogok ini hanya sebagian masuk kantong sendiri. Selebihnya untuk setoran partai.

Begitulah para bandit berkeliaran menerjang memasuki wilayah-wilayah Indonesia, menguras kekayaan di situ, lalu pergi. Sementara itu, bandit berkeliaran lain telah menunggu!

I Wibowo Koordinator ”Dijkstra Society” Jakarta

Bangsa Kita

Oleh BUDIARTO SHAMBAZY

Apa betul bangsa ini mundur? Pada masa Orde Baru ada seorang pemuda berjalan mundur nonstop dari Jawa Timur sampai Jakarta.

Ia melakukannya dalam rangka Sumpah Pemuda. Agar tak celaka, ia melengkapi diri dengan kaca spion.

Saat finis di depan Kantor Menpora di Senayan, ia diwawancarai wartawan. ”Saya ingin membuktikan kehebatan generasi muda kita,” ujarnya sembari jalan mundur.

Itu gambaran bangsa ini yang tak sadar sedang maju atau mundur? Sebelum menjatuhkan vonis bangsa ini tak maju, ada sejumlah caveat.

Pertama, biasanya 97 persen rakyat merupakan warga yang rajin bekerja. Jika merujuk pada statistik, ada sekitar 97 juta warga rajin di Tanah Air.

Sisa 3 persen, atau sekitar 3 juta orang, adalah elite yang memerintah (the ruling elite) yang sejak dulu terbukti enggan bekerja. Kalau kerja serius, slogan ”Truly Asia” pasti jadi milik Indonesia.

Celakanya, yang 3 juta orang ini yang mengatur napas kehidupan bangsa. Ia terdiri dari para birokrat, kaum intelektual, dan kalangan profesional.

Birokrat jadi titik lemah karena dililit budaya feodalisme. Posisi presiden, menteri, jenderal, atau eselon satu serba salah karena diproteksi durna, aspri, atau ring satu.

Gelar durna pada masa Bung Karno dipegang Pak Soebandrio atau Pak Jusuf Muda Dalam. Pak Harto punya aspri-aspri yang mempraktikkan KISS (Ke Istana Sendiri-Sendiri).

Ring satu sampai kini terkenal amat berkuasa. Seperti birokrat, mereka berprinsip, ”Kalau urusan bisa dibuat susah, kenapa dimudahkan?”

Pendek kata para pejabat tinggi dikelilingi orang-orang yang menganut prinsip public service (publik yang melayani mereka). Kebiasaan publik melayani pejabat terjadi selama puluhan tahun, mulai dari kantor lurah sampai istana.

Penyakit kaum intelektual justru kurang mampu menjaga intelektualitasnya. Biasanya mereka tergoda jadi kutu loncat menjadi politisi, jubir, atau tim sukses yang mesra dengan kekuasaan.

Contohnya KPU versi 2009 yang mengulang apa yang dilakukan KPU versi 2004: belum kerja sudah minta mobil baru. Saya bingung karena keledai saja tak mau terantuk dua kali.

Jangan salah, banyak intelektual yang berjalan lurus di atas relnya sendiri. Tetapi, ya sabar-sabar sajalah kalau mampunya cuma membeli rumah di pinggir rel kereta api.

Mungkin kelompok yang beres adalah kalangan profesional karena berurusan dengan kinerja yang mendatangkan uang. Namun, peranan mereka sebagai penggerak ekonomi kerap dilecehkan.

Oleh para pejabat, mereka dijadikan sapi perah; oleh kaum intelektual, mereka dianggap antek neoliberalisme. Pokoknya profesional justru diperlakukan agar gagal menerapkan profesionalisme.

Hidup memang tak adil karena 3 persen orang menguasai hajat hidup 97 persen rakyat rajin. Itu sebabnya Mao Zedong, Fidel Castro, atau Pol Pot mengerahkan yang 97 persen untuk melindas yang 3 persen.

Caveat kedua, menurut teori Manusia Indonesia ala Mochtar Lubis, kekuatan bangsa ini ada pada seni. Tiap degup jantung kehidupan dikaitkan dengan aspek kesenian (arts).

Seni bersifat longgar karena bisa diimprovisasi. Hidup tak diseriusi karena ia seni yang penuh nuansa, bisa dipetatah-petitihkan, bahkan boleh dibelokkan sesuai kebutuhan.

Itu sebabnya elite yang memerintah menganggap hukum sebagai kesenian. Andai para filsuf dunia bangkit dari kubur, mereka pasti menangis menyaksikan produk mereka dipermainkan.

Entah berapa juta lembar narasi hukum yang dicetak, termasuk yang diperdagangkan DPR bersama pemerintah. Ada ribuan undang-undang (UU) produk pemerintah pusat yang bertentangan dengan yang di berbagai provinsi.

Jangankan hukum, olahraga pencak silat saja ada ”kembang-kembangnya”. Tak mengherankan jika praktik ipoleksosbud di sini melahirkan ratusan cabang kayak pohon beringin raksasa yang angker.

Ideologi Pancasila jelas mengambang karena gampang dilanggar-langgar atau disakti-saktikan. Sistem politiknya multitafsir, tergantung dari siapa yang berkuasa.

Jika kepepet, presiden cari akal lewat dekrit, Supersemar, atau UU Keamanan Nasional. Unsur seni kepemimpinan tampak dari istilah ”ora dadi presiden ora pathéken”, kultur ”gitu aja kok repot”, atau slogan ”Bersama Kita Bisa”.

Sistem ekonominya lebih ngambang lagi karena cara paling mudah mencatut Pasal 33 UUD ’45. Menurut saya, kepanjangan UUD itu lebih pas jadi ”ujung-ujungnya duit”.

Caveat ketiga, watak bangsa ini telanjur jadi penutur sejati. Ada pembaca bertanya mengapa tiap orang malas mengerjakan tugasnya sesuai keahlian?

Jawabannya, tiap orang gemar mencampuri urusan orang lain sehingga tugas utamanya terbengkalai. Pekerjaan yang dijalankan setengah hati menghasilkan karya yang asal jadi.

Maka, tiap orang berkualitas setengah dewa atau jadi makhluk jadi-jadian. Jujur saja, yang namanya makhluk jadi-jadian itu ibaratnya ”ada tetapi tiada” karena ada yang percaya dan ada pula yang tidak percaya.

Nah, jika tiga caveat itu dirangkum, ia menyimpulkan bahwa 97 juta rakyat rajin diapusi elite. Padahal, elite yang sibuk ber-happening arts itu kerjanya ngomong doang.

Itulah yang tiap hari Anda lihat, baca, atau simak di media massa. Oleh sebab itu, rakyat bingung menjawab pertanyaan bangsa ini maju atau mundur?

Supaya afdol, coba apa rasanya berjalan mundur. Baru satu-dua langkah, Anda enggak akan betah walaupun memakai kaca spion.

Golput dan Memilih dengan Rasional

Oleh Roby Muhamad

Sedikitnya ada tiga alasan mengapa seseorang menjadi golput.

Pertama, seseorang menjadi golput karena di luar kehendak; misalnya sebetulnya ingin memilih tetapi karena suatu hal —misalnya sakit parah—dia tidak memilih.

Kedua, golput sebagai pernyataan politik yang mengisyaratkan ketidakpercayaan pada sistem yang ada.

Ketiga, golput menganggap memilih bukan perilaku rasional karena tidak memberi keuntungan apa-apa bagi diri sendiri.

Untung-rugi

Seseorang dikatakan berperilaku rasional jika perilakunya didasarkan pada penghitungan untung-rugi. Jika seseorang memilih perilaku yang paling menguntungkan dirinya, perilaku itu dianggap rasional. Ikut memilih dalam pemilihan presiden apakah rasional atau bukan? Apa untungnya memberikan satu suara di antara ratusan juta suara lain?

Memang satu suara yang diberikan hampir pasti tidak memengaruhi hasil pemilihan presiden. Di antara sekitar 170 juta pemilih, pengaruh satu suara bisa diabaikan. Karena itu, kelihatannya memilih dalam pemilihan presiden bukan tindakan rasional karena kemungkinan suara yang diberikan memengaruhi hasil pemilu presiden amatlah kecil.

Argumen ini bisa diperluas, bukan hanya sekadar tindakan memilih tetapi juga apakah rasional bagi kita untuk peduli proses pemilihan presiden secara umum. Jika suara kita tidak bisa memengaruhi hasil pemilihan presiden, untuk apa kita menghabiskan waktu dan energi mendengarkan janji-janji yang disampaikan para calon presiden?

Bagi masing-masing individu, memilih memang tidak rasional. Tetapi hasil pemilihan ini berdampak bagi 250 juta orang Indonesia. Misalkan, presiden baru terpilih bisa meningkatkan kualitas hidup orang Indonesia sebesar Rp 100.000 secara rata-rata, maka memilih presiden mirip dengan mengambil undian gratis dengan hadiah Rp 2,5 triliun.

Jadi, meski kecil kemungkinan suara pilihan kita menentukan pemenang pemilu presiden, dampaknya amat besar. Dalam ilmu statistik, hal ini dikenal sebagai peristiwa yang memiliki probabilitas kecil, tetapi nilai ekspektasinya besar.

Nilai ekspektasi adalah hasil perkalian dari probabilitas kejadian dengan dampak kejadian sehingga meski probabilitasnya kecil, jika dampaknya besar, ekspektasinya besar pula. Probabilitas adalah konsep abstrak, tetapi nilai ekspektasi mempunyai nilai riil; dalam contoh itu adalah uang Rp 2,5 triliun. Jadi, pilihan rasional bukan memilih hanya berdasarkan probabilitas tertinggi, tetapi memilih berdasarkan nilai ekspektasi tertinggi.

Perilaku rasional

Dari paparan itu terlihat, memilih termasuk perilaku rasional, asal keuntungan yang dimaksud bukan keuntungan pribadi tetapi keuntungan sosial. Dengan kata lain, memilih berdasarkan dampak sosial memiliki ekspektasi jauh lebih besar daripada memilih berdasarkan dampak pribadi. Artinya, pemilih rasional tidak memilih kandidat yang dipercaya akan memberi keuntungan pribadi, tetapi kandidat yang dipercaya akan memberi keuntungan untuk seluruh rakyat.

Hasil penelitian beberapa ilmuwan politik di Columbia University, New York, memperlihatkan pemilih di AS memilih berdasarkan keuntungan (preferensi) sosial, bukan individu. Penemuan ini membantah pendapat dari sebagian ekonom—misalnya ekonom Steven Levitt pengarang buku populer Freakonomics—yang menganggap memilih dalam pemilu tidak rasional karena tidak memberi keuntungan pribadi.

Mencoblos dalam pemilu bisa dianggap perilaku rasional. Kuncinya adalah memperluas definisi perilaku rasional itu. Kebanyakan ekonom dan ilmuwan sosial menganggap rasionalitas didasarkan keuntungan individu; di sini rasionalitas sama dengan egoisme. Padahal, perilaku rasional dapat juga didefinisikan bukan hanya sebagai perilaku yang memberikan keuntungan pribadi, tetapi juga perilaku yang memberi keuntungan sosial.

Dalam kasus perilaku memilih dalam pemilu malah tidak rasional jika seseorang bertindak egois. Sebab, seorang egois hanya memikirkan keuntungan pribadi, sedangkan mencoblos dalam pemilu tidak memberi keuntungan pribadi.

Dalam konteks pemilihan umum jika Anda ingin menjadi orang rasional, ikutlah memilih dan pilih kandidat yang dipercaya membawa kebaikan bagi negara secara umum, bukan baik bagi Anda saja. Jika Anda memilih hanya untuk kepentingan pribadi, Anda tidak rasional.

Roby Muhamad Kandidat Doktor Sosiologi, Universitas Columbia, New York