Jumat, 28 November 2008

Simalakama Koalisi Presidensial


Saldi Isra

Sejak Pemilihan Umum 1999, Indonesia beralih dari sistem kepartaian dominan menjadi sistem kepartaian majemuk. Melalui perubahan UUD 1945, peralihan itu diikuti dengan purifikasi sistem pemerintahan presidensial. Salah satu upaya purifikasi tersebut, presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung.

Gambaran praktik sistem presidensial yang dibangun dengan model kepartaian majemuk baru dapat dilihat agak lebih utuh setelah Pemilu 2004. Gagal menghasilkan pemenang mayoritas, pemilu pertama pascaperubahan UUD 1945 itu menghasilkan 17 partai politik yang mendapat kursi di DPR. Sementara itu, pemilihan presiden langsung hanya menghasilkan minority president, yaitu presiden dengan dukungan relatif kecil di DPR. Dengan terbatasnya dukungan itu, pemerintahan koalisi menjadi pilihan yang tak terhindarkan.

Meski berhasil membangun koalisi dengan dukungan mayoritas absolut (sekitar 70 persen) kekuatan politik di DPR, langkah Presiden Yudhoyono merangkul beberapa partai politik di luar Partai Demokrat tidak membuat pemerintah menjadi lebih mudah menghadapi setiap agenda ketatanegaraan yang bersentuhan dengan kewenangan DPR. Bahkan, dalam banyak kejadian partai politik pendukung koalisi sering ”mempersulit” agenda pemerintah. Secara jujur harus diakui, sepanjang pemerintahannya, koalisi berubah menjadi buah simalakama bagi Yudhoyono.

Melihat desain UU Pemilihan Presiden yang baru dan kecenderungan sejumlah partai politik peserta pemilu, langkah apakah yang dapat dilakukan untuk membangun koalisi menghadapi pemilu presiden mendatang?

Koalisi presidensial

Sistem kepartaian majemuk dalam pemerintahan presidensial merupakan salah satu perdebatan klasik dalam kajian ilmu politik dan hukum tata negara. Perdebatan itu lebih banyak berkisar pada kesulitan dan masalah bangunan koalisi dengan sistem kepartaian majemuk. Seperti dikemukakan Scott Mainwaring (1993), pemerintahan presidensial dengan sistem kepartaian majemuk merupakan kombinasi yang sulit dan dilematis. Hal itu terjadi jika presiden terpilih tak berasal dari partai politik yang memperoleh kekuatan mayoritas di lembaga legislatif.

Untuk mendapat dukungan di lembaga legislatif, presiden berupaya membentuk pemerintahan koalisi dengan merangkul sejumlah partai politik. Cara paling umum yang dilakukan presiden: membagikan posisi menteri kabinet kepada partai politik yang memberikan dukungan kepada presiden. Membandingkannya dengan koalisi dalam sistem parlementer, Mainwaring mengemukakan tiga kelemahan koalisi multipartai dalam sistem presidensial.

Pertama, dalam sistem parlementer, koalisi partai politik yang memilih menteri dan perdana menteri. Karena itu, mereka bertanggung jawab mendukung pemerintah. Dalam sistem presidensial, presiden membentuk sendiri kabinetnya dan partai politik punya komitmen yang rendah mendukung presiden.

Kedua, berbeda dengan sistem parlementer, dalam banyak sistem pemerintahan presidensial, anggota legislatif dari partai politik yang punya menteri di kabinet tak sepenuh hati mendukung pemerintah. Ketiga, secara umum, keinginan partai politik membubarkan koalisi lebih kuat dalam sistem pemerintahan presidensial.

Meski demikian, upaya membangun koalisi tetap saja menjadi langkah darurat minority president. David Altman (2000) dalam The Politics of Coalition Formation and Survival in Multiparty Presidential Democracies: The Case of Uruguay 1989-1999, mengemukakan bahwa coalitions are not institutionally necessary dalam sistem presidensial. Argumentasi Altman, sistem presidensial not conducive to political cooperation.

Memperkuat presidensial

Meski koalisi sistem presidensial dengan kepartaian majemuk menghadirkan banyak kesulitan dan masalah, menilik desain sistem pemilu presiden yang berlaku, sulit menghindar dari pembentukan pemerintahan koalisi. Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 membuka ruang adanya koalisi partai politik peserta pemilu. Kemudian, UU Pilpres (yang baru) mengharuskan syarat dukungan paling sedikit 20 persen perolehan kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional dalam pemilu DPR bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Dengan desain legal seperti itu, partai politik yang tengah memasang kuda-kuda menghadapi Pilpres 2009 harus sejak dini mempertimbangkan agar koalisi tak menjadi simalakama bagi presiden. Bagaimanapun, ide dasar pembentukan koalisi harus dalam kerangka memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Jika hanya dilandaskan pada perhitungan memenuhi target memenangi pemilu, koalisi akan pecah-kongsi sejak awal pembentukan pemerintahan.

Demi memperkuat sistem pemerintahan presidensial, formula pembentukan koalisi sistem parlementer yang dikemukakan Mainwaring layak dipertimbangkan. Dalam hal ini, semua partai politik yang ingin bergabung dalam koalisi bersama-sama menentukan calon presiden dan wakil presiden yang akan mereka ajukan. Untuk menentukan calon itu, bisa saja digunakan koefisien hasil pemilu legislatif dan/atau popularitas calon; diikuti dengan distribusi jabatan menteri. Dengan begitu, tanggung jawab partai politik pendukung koalisi lebih besar atas kelangsungan pemerintahan koalisi.

Terkait dengan itu, tak salah mengambil pelajaran pengisian dan pergantian anggota kabinet masa pemerintahan Yudhoyono. Misalnya, sejumlah kalangan di Golkar sering ”mengusik” Yudhoyono dengan menolak mengakui menteri yang berasal dari kader Golkar sebagai representasi partai berlambang pohon beringin ini di kabinet. Meski kemudian ada penambahan jumlah kader di kabinet, Golkar tetap saja tak sepenuh hati mendukung agenda pemerintah di DPR.

Secara sadar harus diakui, konsep yang ditawarkan ini memang akan menghilangkan konsep ideal sistem pemerintahan presidensial. Dengan mengacu pola pembentukan koalisi dalam sistem parlementer tersebut, misalnya, presiden akan kehilangan hak prerogatifnya dalam pengisian anggota kabinet.

Bagaimanapun, dengan desain yang ada saat ini, terobosan pemikiran amat diperlukan. Jika tidak, presiden akan tetap terpenjara oleh koalisi yang ia bangun sendiri.

Sekiranya itu yang terjadi, perlahan tetapi pasti, simalakama sistem presidensial akan melumpuhkan presiden dan pemerintahannya.

Saldi Isra Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

Tidak ada komentar: