Rabu, 12 November 2008

Partai Politik


Multipartai Hambat Kepemimpinan
Rabu, 12 November 2008 | 00:35 WIB

Makassar, Kompas - Terlalu banyaknya jumlah partai politik di Indonesia menghambat terciptanya kepemimpinan nasional yang efektif. Parpol juga dinilai terjebak lagi dalam demokrasi prosedural sehingga produk politik yang dihasilkan tidak pernah menyentuh masalah substansial bangsa ini.

Hal itu disampaikan guru besar ilmu politik Ichlasul Amal dan Nazaruddin Syamsuddin MA dalam diskusi tentang masalah kepemimpinan nasional pasca-Orde Baru pada Seminar Nasional XXIII Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) di Makassar, Selasa (11/11). Kedua pembicara menyatakan, efektivitas kepemimpinan nasional ditentukan model parlemen yang diterapkan.

Ichlasul mengakui, terlalu kuatnya parlemen di Indonesia cenderung melabilkan situasi politik. Hal itu membahayakan supremasi sipil. Multipartai yang besar menyebabkan sulitnya mencapai konsensus nasional yang dibutuhkan untuk mengefektifkan kepemimpinan nasional.

”Jika kita merindukan kepemimpinan nasional yang kuat dan berintegritas, orang selalu beranggapan pemimpin seperti itu hanya muncul dari kalangan militer. Jangan-jangan kita merindukan kepemimpinan sebagaimana yang ditampilkan Soeharto. Apakah seperti itu yang diinginkan?” kata Ichlasul.

Ichlasul mengakui, karut-marut sistem presidensial semiparlementer di Indonesia diperparah tidak rasionalnya pemilih.

Nazaruddin menyatakan, DPR menghancurkan sistem seleksi alamiah parpol dengan mengacaukan mekanisme electoral threshold atau ambang batas perolehan suara. ”Padahal, dengan menerapkan electoral threshold, saya yakin pada 2014 jumlah partai hanya berkisar tiga. Namun, partai di parlemen memakai pendekatan kepentingan dalam membuat aturan,” katanya.

Padahal, kata Nazaruddin, sistem multipartai yang terlalu besar akan memacetkan sistem presidensial. ”Kenyataan hari ini, investasi politik untuk memilih pemimpin nasional begitu besar. Sistem presidensial akan mogok jika harus menghadapi multipartai yang terlalu besar,” katanya.

Dalam seminar itu, Redaktur Senior Kompas Ninok Leksono, yang menjadi pembicara, menyatakan, pemimpin nasional yang kuat tidak bisa bermodalkan keinginan semata. ”Orang tak bisa menyatakan diri sebagai pemimpin nasional, hanya karena ia merasa bisa menjadi pemimpin. Pemimpin datang silih berganti, namun bangsa ini tidak kunjung maju,” katanya. (row)

Tidak ada komentar: