Selasa, 25 November 2008

Reformasi


Ketika Politik Gagal, Bisa Berharap Ada Emansipasi
Selasa, 25 November 2008 | 01:07 WIB

Jakarta, Kompas - Era reformasi membawa Indonesia pada demokrasi yang lebih baik ketimbang era sebelumnya. Terlepas banyak yang menyayangkan demokrasi hanya prosedural, reformasi telah memberikan kebebasan pada masyarakat Indonesia untuk sedikit banyak mencicipi demokrasi. Persoalannya, jika prosedural ternyata tidak berjalan seperti yang diharapkan, masyarakat bisa kehilangan pegangan untuk melanjutkan transformasi masyarakat. Di sinilah harapannya ada pada emansipasi.

”Dalam masa ini, hampir segenap aspirasi perubahan politik dan transformasi masyarakat coba dipapatkan dalam tubuh institusi resmi kepolitikan. Akibatnya, semua bentuk kepolitikan mengalami formalisasi,” ujar dosen Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robert, dalam sidang disertasi di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, Sabtu (22/11).

Sidang terbuka yang dipimpin Prof Franz Magnis-Suseno itu memberikan predikat cum laude kepada Robert yang menyelesaikan pendidikan doktoralnya tidak sampai dua tahun. Robert merupakan doktor kedua dari STF Driyarkara yang mendapat predikat cum laude. Tim penguji adalah Prof Alois Agus Nugroho, Dr Karlina Supelli, dan Prof Alex Lanur. Adapun promotor Prof M Sastrapratedja, ko-promotor Dr B Herry Priyono dan Prof J Sudarminta.

Menurut Robert, pada titik ketika masyarakat kehilangan pegangan itulah bisa muncul emansipasi yang menyumbang pada pendasaran baru bagi politik. Pertanyaannya, apakah emansipasi itu mungkin.

”Kalau dilihat dari epistemologi, emansipasi itu problemnya bukan soal mungkin atau tidak mungkin, tetapi bagaimana mendefinisikan dan memenetrasikan segala matriks kemungkinan dan ketidakmungkinan itu dengan militansi,” ujarnya. (MAM)

Ketika Politik Gagal, Bisa Berharap Ada Emansipasi
Selasa, 25 November 2008 | 01:07 WIB

Jakarta, Kompas - Era reformasi membawa Indonesia pada demokrasi yang lebih baik ketimbang era sebelumnya. Terlepas banyak yang menyayangkan demokrasi hanya prosedural, reformasi telah memberikan kebebasan pada masyarakat Indonesia untuk sedikit banyak mencicipi demokrasi. Persoalannya, jika prosedural ternyata tidak berjalan seperti yang diharapkan, masyarakat bisa kehilangan pegangan untuk melanjutkan transformasi masyarakat. Di sinilah harapannya ada pada emansipasi.

”Dalam masa ini, hampir segenap aspirasi perubahan politik dan transformasi masyarakat coba dipapatkan dalam tubuh institusi resmi kepolitikan. Akibatnya, semua bentuk kepolitikan mengalami formalisasi,” ujar dosen Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robert, dalam sidang disertasi di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, Sabtu (22/11).

Sidang terbuka yang dipimpin Prof Franz Magnis-Suseno itu memberikan predikat cum laude kepada Robert yang menyelesaikan pendidikan doktoralnya tidak sampai dua tahun. Robert merupakan doktor kedua dari STF Driyarkara yang mendapat predikat cum laude. Tim penguji adalah Prof Alois Agus Nugroho, Dr Karlina Supelli, dan Prof Alex Lanur. Adapun promotor Prof M Sastrapratedja, ko-promotor Dr B Herry Priyono dan Prof J Sudarminta.

Menurut Robert, pada titik ketika masyarakat kehilangan pegangan itulah bisa muncul emansipasi yang menyumbang pada pendasaran baru bagi politik. Pertanyaannya, apakah emansipasi itu mungkin.

”Kalau dilihat dari epistemologi, emansipasi itu problemnya bukan soal mungkin atau tidak mungkin, tetapi bagaimana mendefinisikan dan memenetrasikan segala matriks kemungkinan dan ketidakmungkinan itu dengan militansi,” ujarnya. (MAM)

Tidak ada komentar: