Jumat, 28 November 2008

Masih Mungkinkah Kita Bangkit?


ACHMAD FEDYANI SAIFUDDIN

Tahun 2008 hampir berakhir, tetapi banyak masalah bangsa justru kian serius. Mungkinkah kita bangkit?

Pertanyaan ini amat penting karena dalam banyak hal kita mewujudkan berbagai tindakan sosial, politik, dan ekonomi yang tidak berlandaskan pemahaman filosofis tentang apa yang sebenarnya terjadi pada tingkat lokal nasional hingga global. Kita kurang peduli proses alami yang sedang bekerja. Masih mungkinkah negara-bangsa kita bangkit pada abad yang menuntut kecepatan dan berpostur ramping?

Bangsa ini masih terjerat kemiskinan, kesenjangan sosial- ekonomi, rentannya hubungan antaretnik dan agama, meningkatnya primordialisme kedaerahan, maraknya perbedaan berdasar partai politik, dan lainnya. Itu semua adalah cermin betapa bangsa kita masih terkotak-kotak dalam ruang-ruang sempit.

Efisiensi negara-bangsa

Kini semua negara di dunia dituntut untuk menyelaraskan diri dengan perubahan dunia yang kian cepat. Banyak teoretis menengarai merosotnya ideologi idealisme digantikan liberalisme, materialisme, dan pragmatisme, di mana tindakan lebih penting daripada ucapan dan interaksi lebih penting daripada pikiran.

Isu-isu dunia, seperti kebebasan, demokrasi, hak asasi manusia, dan harkat kaum minoritas, ikut mendorong negara-bangsa ke dalam arus global yang baru. Eksistensi negara-bangsa bergantung pada kehendak global, bukan hanya kehendak bangsa sendiri. Tampaknya dunia lebih menyukai bangsa yang berpostur ramping tetapi demokratis daripada bangsa besar tetapi otoritarian. Logikanya, mengelola dan memakmurkan bangsa yang kecil lebih mungkin daripada negara besar yang sarat masalah internal. Bangsa yang ramping lebih gesit bergerak dalam perubahan yang kian cepat.

Peta politik-ekonomi dunia berubah. Sebagai penentu politik- ekonomi dunia, kedudukan negara bergeser ke tangan berbagai korporasi raksasa. Sedangkan negara hanya sebagai fasilitator, keadaan yang tidak terbayangkan pada abad lalu. Francis Fukuyama (Trust: The Social Virtue and the Creation of Prosperity, 1996) menengarai, salah satu ciri ekonomi dunia pada abad ke-20 adalah beralihnya kekuasaan ekonomi ke tangan jaringan korporasi besar secara lintas bangsa, sedangkan negara hanya menjadi ”tukang stempel” atau pemadam kebakaran, suatu kondisi yang kini mulai nyata.

Agar survive, efisiensi negara- bangsa tampaknya menjadi kebutuhan abad ini. Negara-bangsa yang besar sering ambivalen karena di satu pihak harus memelihara kesatuan unsur-unsur yang beragam di wilayah amat luas, dan pada saat sama harus menghadapi tuntutan dunia agar bergerak cepat dan efisien. Artinya, negara-bangsa harus ramping agar gesit dalam percaturan global.

Pertaruhan pada masa depan

Secara historis, negara-bangsa, seperti Indonesia, diintegrasikan dua pengikat. Pertama, kekuasaan yang mengendalikan beragam unsur penyusun bangsa di wilayah yang sangat luas. Kedua, ideologi berintikan kesadaran, nilai, dan pengorbanan untuk memelihara negara-bangsa.

Kekuasaan pemerintah kadang diterjemahkan menjadi penggunaan militer untuk menyelesaikan konflik internal. Namun, penggunaan militer untuk menjaga kesatuan bangsa kini kurang relevan karena berhadapan dengan isu-isu besar tuntutan global. Padahal, penggunaan kekuasaan otoriter tampaknya diperlukan guna memelihara integrasi bangsa. Kita perlu belajar dari teori evolusi masyarakat tentang keruntuhan negara. Robert Tainter (The Collapse of Complex Societies, 1991) mengemukakan, kekuasaan demokratis bekerja lebih efektif pada bangsa berskala kecil karena memerlukan komunikasi intensif dan paling dimungkinkan pada bangsa yang kecil populasinya. Memang ada contoh- contoh negara-bangsa demokratis, seperti AS, tetapi faktor-faktor, seperti kemiskinan, kesenjangan sosial-ekonomi, dan sulitnya komunikasi, bukan kendala dominan bangsa AS.

Masa depan keutuhan negara- bangsa kita amat bergantung pada kepedulian kita sendiri, yang kini justru melemah. Kita harus menjadikan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi, kelompok, atau partai—menghapus sekat, kotak sempit, dan menjadikannya interaktif dan dialog– agar negara-bangsa tetap terpelihara. The last but not least, kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi-sosial tampaknya masih menjadi solusi utama dalam menghadapi perubahan dunia yang kian materialistis.

ACHMAD FEDYANI SAIFUDDIN Dosen Departemen Antropologi FISIP UI


Tidak ada komentar: