Selasa, 25 November 2008

Politik Tanpa Moral Lahirkan "Serigala"


Syafii: Politik di Indonesia
Kekurangan Pelaku Berjiwa Besar
Minggu, 23 November 2008 | 08:37 WIB

Yogyakarta, Kompas - Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta Ahmad Syafii Maarif mengemukakan, praktik politik tanpa dilandasi moral dan integritas pelakunya hanya akan melahirkan ”serigala-serigala” yang akan saling memakan. Tanpa moral dan integritas pelakunya, politik takkan menjadi sarana mewujudkan cita-cita kesejahteraan umum.

”Praktik politik pada kenyataannya adalah homo homini lupus. Kalau dilepas sama sekali tanpa moral sebagai inti ajaran setiap agama, dunia politik hanya akan dipenuhi ’serigala-serigala’,” ujar Syafii dalam seminar nasional ”Peranan Politik Katolik 1940-1980: Menjadi 100 Persen Indonesia dan 100 Persen Katolik” di Universitas Sanata Darma, Yogyakarta, Sabtu (22/11).

Lebih lanjut, Syafii mengemukakan, dengan adanya tuntutan moral dan pelaku politik, tidak berarti agama lantas mentah- mentah masuk dalam praktik politik. Penyalahgunaan agama dalam praktik politik sebagai ekstrem sebaliknya membawa akibat yang sama buruknya. Moral dalam politik ibarat rem dalam kendaraan.

Selain moralitas, Syafii melihat praktik politik di Indonesia dalam sejarah panjangnya selalu kekurangan pelaku-pelaku yang berjiwa besar dan berlapang dada. Karena ini, hubungan antarpemimpin selalu memburuk, seperti terlihat antara Soekarno-Soeharto, Soeharto-Habibie, dan terakhir Yudhoyono-Megawati. ”Bayangkan, sampai kini mereka tidak saling berteguran,” ujarnya.

Pembicara lain pada seminar dalam rangka memperingati ulang tahun Ikatan Sarjana Katolik (ISKA) itu adalah anggota Fraksi PDI-P di DPR Aria Bima, dosen pascasarjana USD Budi Subanar SJ, dan Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas St Sularto.

Aria mengemukakan, dalam politik, selain moral, dibutuhkan juga integritas dari para pelakunya. Integritas itu akan membuat politisi mampu menghindari penyimpangan, seperti saling makan dalam kasus aliran dana Bank Indonesia yang melibatkan banyak anggota DPR.

Namun, tuntutan moral dan integritas yang tinggi itu, menurut Aria, tidak cukup dijawab oleh semua partai politik dan pelakunya. Aria melihat, persiapan atau prakondisi sekitar 21.000 orang yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif seluruh Indonesia tidak memadai.

”Minimnya intergitas ditambah belum berubahnya iklim Orde Baru dalam lembaga legislatif di tengah tuntutan transparansi membuat banyak politisi seperti terjebak. Kasus aliran dana BI dan Astro menunjukkan hal itu,” ujar Aria.

Untuk itu, selain mensyaratkan moralitas dan integritas politisi, Aria mensyaratkan perubahan mekanisme kerja di lembaga legislatif sesuai tuntutan reformasi yang mengharuskan transparansi dan akuntabilitas. Untuk itu, Aria mengharapkan publik bisa memantau secara luas proses politik dan penganggaran di DPR.

Sebagai peneliti, dosen, dan juga rohaniwan Katolik, Subanar menyoroti mundurnya sejumlah upaya Gereja Katolik dalam politik kebudayaan di zaman yang serba terbuka seperti saat ini. Kemunduran juga terjadi di dalam Gereja Katolik sendiri. Upaya inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia yang sudah maju melampaui sekadar upaya adaptasi dan penerjemahan ajaran terserat mundur. (INU)

Tidak ada komentar: