Minggu, 20 Juli 2008

"Kecap" Politik di Sekitar Kita

Minggu, 20 Juli 2008 | 01:08 WIB

Mengapa iklan politik di televisi lebih banyak menggambarkan kehidupan orang desa dan masyarakat kelas bawah? Jangan-jangan ini menunjukkan bahwa politikus kita masih terkungkung pendekatan patron-klien yang bersifat vertikal.

Iklan politik Wiranto, misalnya, menyoroti kehidupan masyarakat desa yang miskin sampai-sampai harus makan nasi aking (nasi bekas yang dicuci dan dikeringkan).

Mungkin agar terkesan bahwa dia ikut merasakan penderitaan rakyat, Wiranto ikut mencicipi nasi aking.

Iklan politik Prabowo Subianto mengingatkan bahwa Indonesia dulu adalah Macan Asia. Sekarang, bangsa ini terpuruk, hutan gundul, dan rakyat terbelit kemiskinan.

Pengadeganan kedua iklan itu nyaris sama. Pertama-tama, muncul gambar-gambar yang memperlihatkan kehidupan rakyat kecil. Kemudian, politikus muncul menghampiri, menyalami, atau merangkul rakyat. Di penghujung iklan, mereka mengajak semua komponen bangsa untuk mengatasi masalah-masalah itu bersama-sama.

Dengan penggambaran seperti itu, kedua iklan tersebut terkesan menempatkan politikus sebagai bapak yang selalu mengayomi dan mencarikan jalan keluar bagi kesulitan anaknya (rakyat)—father knows best. Padahal, Tuan-tuan, kesulitan rakyat sebagian besar muncul akibat tindak-tanduk para politikus juga, kan....

Iklan-iklan politik lainnya lebih kurang menggunakan tema dan pendekatan yang sama. Hanya iklan Soetrisno Bachir dan Rizal Mallarangeng yang temanya agak beda, yakni soal perlunya generasi muda tampil memimpin.

Kebanyakan politikus dalam iklan berusaha menonjolkan citra sebagai orang yang berintegritas baik secara moral, agama, pendidikan, maupun pengalaman. Untuk menunjukkan bahwa mereka taat beragama, sebagian politisi muncul dengan peci, baju koko, bahkan sorban.

Untuk menunjukkan bahwa mereka terdidik, ada beberapa politisi yang tidak segan-segan menyebut dirinya lulusan perguruan tinggi tertentu. Untuk menunjukkan bahwa mereka bisa memimpin, sebagian politisi menuturkan pengalaman kerja atau berorganisasi.

Politikus yang malu-malu biasanya menggunakan kesaksian orang untuk menjelaskan bahwa dia taat beragama, moralnya terjaga, pintar, dan memiliki kemampuan untuk memimpin. Iklan politik dengan gaya seperti itu mengingatkan kita pada iklan obat kuat.

Tidak terkesan

Apakah pesan-pesan iklan politik itu bisa membuat rakyat terkesan? Dosen Universitas Parahyangan, Bandung, Bambang Sugiharto, mengatakan, sebagian masyarakat kita sudah berubah. Sekarang sebagian besar orang tidak lagi terkesima pada citra konvensional-tradisional pemimpin informal. Sekarang, kata Bambang, orang cenderung berpikir pragmatis. Mereka memilih figur yang dianggap bisa bertindak konkret tidak peduli siapa dia.

Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia Saiful Mujanimenambahkan, rakyat kita semakin otonom. Struktur hierakis-vertikal juga sudah kehilangan kepercayaan dan hubungan patron-klien sudah lewat.

Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif mengatakan, pesan-pesan iklan politik kebanyakan dangkal, serba artifisial, dan tidak otentik. Komunikasi politik yang dijalankan juga kosong dan tidak nyambung dengan kebatinan rakyat.

Bagaimana iklan semacam itu bisa menyentuh kelompok-kelompok masyarakat yang kritis, berpikir lebih merdeka, dan alergi dengan pendekatan vertikal, seperti komunitas underground, Slankers (komunitas penggemar Slank), dan Oi (komunitas penggemar Iwan Fals).

Wakil Ketua Slankers Indonesia Aldo Sianturi mengatakan, dia belum bisa menangkap konsep dan filosofi kepemimpinan yang ditawarkan para politikus melalui iklannya di televisi. Mereka juga tidak tahu bagaimana pemosisian para politikus itu dalam percaturan politik ke depan.

”Semua menimbulkan pertanyaan, seperti bagaimana kalau mereka kelak memimpin,” katanya.

Aldo mengatakan, meski Slankers dianggap sebagai sekumpulan orang slengekan, tetapi mereka bukan kelompok apolitis. Karena itu, mereka memiliki kriteria pemimpin tersendiri.

”Dia harus punya leadership, memiliki kekuatan pada nilai yang lebih standar, memiliki kelebihan dibanding pemimpin sebelumnya, peka menggali kekuatan-kekuatan industri, dan harus bisa mendorong masyarakat untuk berproduksi bukan mengonsumsi terus,” papar Aldo.

Ketua Badan Pengurus Pusat Oi Dudi Zulkifli ragu apakah dalam kehidupan sehari-hari para politikus itu seideal yang dicitrakan dalam iklan di media massa. ”Kalau tidak benar, ini bisa jadi bumerang bagi mereka sendiri,” katanya.

Karena itu, lanjut Dudi, Oi tidak mengidamkan sosok pemimpin yang muluk-muluk. ”Yang penting dia bisa memenuhi kebutuhan dasar rakyat, menghormati HAM, dan tidak suka bohong,” ujarnya.

Syarat tidak suka bohong? Wah ini yang berat. (bsw/IAM/DHF)

Tidak ada komentar: