Senin, 01 Desember 2008

Pemimpin Muda'


Resonansi
Oleh Zaim Uchrowi

Pekan silam nama saya disebut sebagai salah satu dari '100 Pemimpin Muda' Indonesia menurut Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Nama Aa Gym, Arifin Ilham, dan Erick Thohir juga masuk dalam daftar pemimpin muda lintas partai dan golongan itu. Tentu saya bersyukur dan berterima kasih atas penghargaan itu. Tapi, pada saat yang sama, saya juga bertanya-tanya pada diri sendiri: Apa makna penghargaan ini?

Dengan usia 48 tahun, saya bukan lagi muda walaupun sering ingin tetap dianggap muda. Suasana gedung Sabuga-Bandung malam itu membantu menjawab pertanyaan tersebut. Suasana itu sangat khas Bandung. Satu-satunya kota di muka bumi ini yang mampu menyatukan aroma agamis dengan budaya pop. Konser band dan syahdu ayat Alquran rapi berjalinan. Gelora dakwah dengan entakan irama rap-reggae-rock berpilin-pilin satu sama lain. Sebuah keadaan yang meyakinkan saya bahwa sebenarnya tidaklah penting siapa yang masuk dalam daftar '100 Pemimpin Muda' itu. Tidaklah penting nama saya atau nama siapa pun ada dalam daftar itu. Apalagi banyak nama lain yang layak untuk dipilih sebagai 'pemimpin muda' yang tersebar di seluruh negeri ini.

Yang terpenting dari acara itu tampaknya justru spirit yang melatarinya. Yakni, spirit untuk tidak begitu saja puas pada hal yang sudah ada. Spirit untuk memandang segala hal dengan cara pandang yang baru. Kemenangan Obama mungkin ikut menginspirasi penguatan spirit itu. Kemenangan Obama bukan sekadar kemenangan kubu Partai Demokrat di Amerika Serikat. Kemenangan itu, kata seorang kawan, merupakan kemenangan harapan universal masyarakat global yang memandang bahwa sistem yang tengah berlaku saat ini tidak lagi memadai buat mengatur dunia.

Gegap gempita acara yang menghangatkan udara dingin Parahyangan itu mungkin akan membuat bingung banyak pihak. Membuat bingung para puritanis Islam. Membuat bingung pengamat Barat yang ingin melihat Islam dari sudut pandangnya sendiri. Di tengah pekik 'Allahu Akbar' serta 'Merdeka', di antara antusiasme para santri mengikuti 'Panggung Pemuda' itu, saya justru larut dalam perbincangan dengan diri sendiri. Bangsa ini, kata hati saya, memang tak lagi dapat dikelola dengan cara pandang lama. Bangsa ini memerlukan cara pandang yang sama sekali baru di semua aspek kehidupan.

Carut-marut ekonomi saat ini menegaskan bahwa Indonesia memang memerlukan cara pandang yang sama sekali baru. Seperti di awal 1990-an, langkah perekonomian kita yang dipuji masyarakat Internasional terbukti rapuh dan rentan terhadap guncangan ekonomi dunia. Kita bahkan lebih rentan dibanding banyak negara lain yang kebijakan ekonominya 'kalah canggih' dibanding kita. Tanpa cara pandang baru mengelola ekonomi ke depan, Indonesia menjadi seperti keledai: akan selalu terantuk batu yang sama di dalam perekonomian.

Di kancah politik demikian pula. Politik kita telah mampu memenuhi harapan asasi manusia untuk bebas berserikat, berkumpul, dan mengemukakan pendapat. Namun, politik yang ada masih jauh untuk dapat efektif memakmurkan masyarakat seperti yang dicita-citakan melalui kemerdekaan. Tanpa cara pandang baru, politik akan terus berputar-putar sekadar sebagai alat pemenuhan kepentingan pribadi para pelakunya, namun tak akan banyak memberi manfaat bagi masyarakat luas.

Masalah kependudukan dan lingkungan juga memerlukan cara pandang baru. Tanpa cara pandang baru, jumlah penduduk berkualitas rendah akan semakin meledak. Air bersih, udara segar, dan kehijauan alam akan rusak. Bencana juga akan semakin bertubi-tubi. Pemahaman keagamaan pun memerlukan cara pandang baru. Tanpa cara pandang baru pemahaman keagamaan hanya akan menjadi beban, bukan berkah, bagi terbangunnya peradaban.

Acara peneguhan 'Pemimpin Muda' di Bandung itu memperkuat keyakinan saya. Bangsa ini memang memerlukan cara pandang yang sama sekali baru dalam setiap hal. Keyakinan itu yang perlu kita tumbuhkan di setiap tarikan napas, di setiap detak denyut nadi, agar bangsa dan negara ini benar-benar menjadi bangsa dan negara bermartabat serta berjaya.

(-)

Fasisme dan Kebencian kepada Demokrasi


ROBERTUS ROBET

Pada tanggal 30 Januari 1933, melalui sebuah artikel di Daulat Ra’jat, Hatta dengan gemilang menjelaskan latar belakang fasisme. Menurut dia, fasisme muncul terutama di negeri yang kacau dan hebat persaingan politik serta di negeri yang kaum borjuisnya memandang beban demokrasi terlalu berat. Dengan itu, Hatta mau menegaskan bahwa fasisme dimulai dengan kebencian; kebencian terhadap demokrasi!

Pandangan Hatta ini diperkuat oleh Robert Paxton pada tahun 2004. Ketika itu Paxton mengatakan bahwa berbeda dengan berbagai isme-isme lainnya, seperti sosialisme, liberalisme, dan konservativisme, yang memiliki pendasaran filosofis yang sistemik dan koheren, fasisme muncul pertama-tama sebagai respons terhadap demokrasi, individualisme liberal, gerakan kiri, dan konstitusionalisme sekaligus (Paxton, The Anatomy of Fascism, 2004, hal 19).

Argumen fasis ini, menurut Michael Mann, didasarkan pada klaim transendensi yakni klaim bahwa negara statis fasis adalah satu-satunya entitas yang berkemampuan melampaui konflik- konflik dalam masyarakat (Mann, Fascist, 2004, hal 14). Dari sini daya tarik fasisme dipusatkan pada kekaguman terhadap identitas negara dan sang pemimpin yang dianggap berdiri mengatasi kelas.

Dalam konteks gerakan demokrasi di Indonesia, fasisme memiliki dua makna: eksplisit dan implisit. Makna eksplisit fasisme persis sebagaimana yang digunakan Hatta, Mann, dan Paxton, ia merujuk pada pengertian fasisme sebagai pengalaman dan gejala historis yang secara spesifik mengacu pada kemunculan rezim-rezim fasis terutama di Jerman, Italia, dan Jepang di era krisis besar tahun 1930-an. Sementara makna implisit fasisme merujuk pada segala bentuk modus penyelenggaraan kekuasaan yang dibasiskan pada militerisme dalam artian yang luas dan transhistoris.

Di dalam buku yang sedang kita bahas ini, Wilson, si penulis, tampaknya hendak menggunakan makna eksplisit dari fasisme (yang historis dan lampau) untuk menggagalkan fasisme dalam artian implisitnya. Bagaimana itu dimulai?

Untuk itu, buku ini disusun dalam enam bab. Bab pendahuluan yang ringkas menjelaskan setting awal kemenangan Nazi di Jerman tahun 1933 bersamaan dengan era depresi besar yang melanda dunia. Dengan ini, sebagaimana Mann, ia menerima suatu tesis umum bahwa munculnya fasisme dipicu oleh krisis sosial, ekonomi, dan politik serta perang antarnegara-negara kapitalis. Bab kedua menjelaskan latar belakang ekonomi politik Hindia Belanda, terutama pertumbuhan kapitalisme di Hindia Belanda dan benih-benih nasionalisme di era pergerakan.

Ulasan mengenai dialektika fasisme dengan pergerakan nasional dimulai pada bab ketiga. Di bab ini, ia menjelaskan bagaimana pergerakan kemerdekaan Indonesia mulai berelasi dengan ideologi-ideologi besar dunia. Di sini para pejuang dan intelektual didikan Eropa, terutama Hatta-Syahrir, memainkan peran penting dalam memberikan pandangan-pandangan awal mengenai peta ideologi dan dalam mentransfer kritik ideologis terhadap fasisme.

Dari sini, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai respons politis dari kalangan Hindia Belanda yang terbelah antara yang menerima fasisme dan menolak fasisme. Ulasan menjadi sangat menarik karena mengungkap fakta-fakta otentik mengenai watak politik sejumlah elemen pergerakan Indonesia.

Pada mulanya, mereka yang menerima fasisme terutama berasal dari kalangan Indo-Belanda. Dilihat dari watak politiknya, di Hindia Belanda sendiri terdapat dua jenis organisasi Indo-Belanda, yakni yang propergerakan nasional Indonesia, seperti Indische Partij (IP), Vereeniging voor Spoor-en Tramweg Personeel (VSTP), dan Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV); dan yang kedua adalah yang mendukung pemerintah kolonial, seperti Vederlandsche Club VC dan Indo- Europeesch Verbond (IEV).

Kedua organisasi yang terakhir, VC dan IEV, terjerumus ke dalam ide fasisme sebagai akibat dorongan untuk cepat-cepat ke luar dari krisis yang menggerus privilege dan kenyamanan mereka selama ini. Bentuk paling ekstrem dari organ Indo-Belanda pro-fasis muncul di Solo pada Juni 1933, yakni dengan terbentuknya Anti-Inlander Club yang beranggotakan beberapa keluarga Indo.

Di pihak lain, warga Jerman di Hindia Belanda pada November 1933 mengumpulkan sekitar seribu tanda tangan ”menjatakan setianja pada Rijkanselir Adolf Hitler”. Seluruh dinamik dan semarak menyambut fasisme ini kemudian juga melebar ke kehidupan sehari-hari, pemuda-pemuda Indo-Belanda membentuk barisan-barisan dengan arak-arakan sambil keranjingan meneriakkan slogan heil Hitler.

Akhirnya dari aspirasi sebagian kaum Indo ini, pada tahun 1933 terbentuk tiga partai fasis di Hindia Belanda, yakni Nederlandsch Indische Fascisten Organisatie (NIFO), Fascisten Unie (FU), dan yang terakhir adalah pendirian cabang dari Nationaal Socialistische Beweging pada tahun 1934.

Yang lebih menarik kemudian, buku ini mengungkap, di lingkungan bumiputra juga muncul aspirasi fasis yang secara resmi muncul melalui pendirian Partai Fascist Indonesia pada tahun 1933. Apabila organisasi-organisasi fasis Indo didirikan sebagai bentuk aspirasi terhadap kemunculan Hitler dan harapan mengatasi kebangkrutan ekonomi, Partai Fascist Indonesia (PFI) didirikan oleh Dr Notonindito dengan cita-cita yang aneh, yakni malah hendak kembali arah feodalisme dengan mengusung mimpi-nostalgis kebesaran kerajaan-kerajaan nusantara di masa lampau atau romantisisme-reaksioner.

Akibatnya muncul reaksi keras dari kalangan pergerakan terhadap PFI. Surat kabar Manjala, organ PNI, misalnya, menegaskan bahwa perjuangan rakyat adalah untuk mengubah masa kini, bukannya malah muncur ke belakang (hal 126).

Pada akhirnya, ulasan mengenai pertumbuhan fasisme di Hindia Belanda ditutup dengan penelusuran sikap kaum pergerakan ketika Jepang masuk. Posisi kaum pergerakan mengenai fasisme juga terbelah; Pendidikan Nasional Indonesia di bawah Hatta-Syahrir, Partindo, dan Gerindo melihat fasisme sebagai bahaya bagi gerakan demokrasi di Hindia Belanda, sedangkan Parindra (Partai Indonesia Raya) melihat fasisme Jepang sebagai pembebas bagi Hindia Belanda (hal 2).

Dari modus penyajiannya yang deskriptif, sedari awal sudah terasa bahwa buku ini tidak bermaksud menyediakan deskripsi teoretis yang panjang lebar mengenai apa itu fasisme karena tampaknya ia mengandaikan suatu penerimaan yang terberi (given) dari pembaca mengenai aura ”durjana” yang otomatis tebersit begitu kata fasis disebutkan. Yang menjadi misi utamanya, tampaknya adalah memberikan deskripsi kritis bagaimana fasisme direspons oleh kalangan pergerakan nasional dan betapa kesadaran demokratis zaman itu—sebagai lawan fasisme—dipertahankan oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional dengan kegigihan.

Dengan itu, sangat terasa bahwa kaum pergerakan rupanya tidak hanya sekadar mengejar cita-cita kemerdekaan, lebih jauh dari itu mereka juga hendak sekaligus menjaga cita-cita tersebut hingga selamat dari ujian ideologisnya sehingga kebangsaan Indonesia tidak terjerumus ke dalam malapetaka kemanusiaan karena tergelincir menerima fasisme.

Dengan motif itu, buku Wilson ini menemukan relevansinya dengan keadaan Indonesia kontemporer. Dalam konteks Indonesia masa kini, buah sejarah dari kegigihan kaum pergerakan itu boleh dikata sedang mendapatkan tantangan terberatnya. Indonesia baru saja mengalami demokrasi, tetapi kebencian terhadap demokrasi kini tak kurang maraknya dengan situasi yang pernah digambarkan Hatta dulu.

Sebagaimana klaim fasis, kebencian terhadap demokrasi sekarang juga disertai dengan klaim transenden mengenai masyarakat final, murni dan utuh yang dipimpin oleh suatu doktrin agama. Klaim semacam ini bukan hanya bisa berpotensi menghancurkan demokrasi dan negara bangsa, lebih jauh lagi ia juga bisa mendatangkan persoalan kemanusiaan yang luar biasa.

Hatta pernah mengatakan bahwa fasisme adalah obat yang lebih berbahaya dari penyakit yang hendak disembuhkannya. Bagi kita perumpaan Hatta ini masih bisa berguna hingga sekarang; kita mesti mewaspadai kritik-kritik terhadap demokrasi dan klaim yang menyimpan kebencian terhadap demokrasi. Demokrasi memang sistem penuh borok, tetapi setiap sistem yang dibangun dengan kehendak mematikan demokrasi sudah pasti lebih busuk dari demokrasi yang paling bobrok sekalipun.

(Robertus Robet, Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta, Sekjen Perhimpunan Pendidikan Demokrasi)