Senin, 01 Desember 2008

Fasisme dan Kebencian kepada Demokrasi


ROBERTUS ROBET

Pada tanggal 30 Januari 1933, melalui sebuah artikel di Daulat Ra’jat, Hatta dengan gemilang menjelaskan latar belakang fasisme. Menurut dia, fasisme muncul terutama di negeri yang kacau dan hebat persaingan politik serta di negeri yang kaum borjuisnya memandang beban demokrasi terlalu berat. Dengan itu, Hatta mau menegaskan bahwa fasisme dimulai dengan kebencian; kebencian terhadap demokrasi!

Pandangan Hatta ini diperkuat oleh Robert Paxton pada tahun 2004. Ketika itu Paxton mengatakan bahwa berbeda dengan berbagai isme-isme lainnya, seperti sosialisme, liberalisme, dan konservativisme, yang memiliki pendasaran filosofis yang sistemik dan koheren, fasisme muncul pertama-tama sebagai respons terhadap demokrasi, individualisme liberal, gerakan kiri, dan konstitusionalisme sekaligus (Paxton, The Anatomy of Fascism, 2004, hal 19).

Argumen fasis ini, menurut Michael Mann, didasarkan pada klaim transendensi yakni klaim bahwa negara statis fasis adalah satu-satunya entitas yang berkemampuan melampaui konflik- konflik dalam masyarakat (Mann, Fascist, 2004, hal 14). Dari sini daya tarik fasisme dipusatkan pada kekaguman terhadap identitas negara dan sang pemimpin yang dianggap berdiri mengatasi kelas.

Dalam konteks gerakan demokrasi di Indonesia, fasisme memiliki dua makna: eksplisit dan implisit. Makna eksplisit fasisme persis sebagaimana yang digunakan Hatta, Mann, dan Paxton, ia merujuk pada pengertian fasisme sebagai pengalaman dan gejala historis yang secara spesifik mengacu pada kemunculan rezim-rezim fasis terutama di Jerman, Italia, dan Jepang di era krisis besar tahun 1930-an. Sementara makna implisit fasisme merujuk pada segala bentuk modus penyelenggaraan kekuasaan yang dibasiskan pada militerisme dalam artian yang luas dan transhistoris.

Di dalam buku yang sedang kita bahas ini, Wilson, si penulis, tampaknya hendak menggunakan makna eksplisit dari fasisme (yang historis dan lampau) untuk menggagalkan fasisme dalam artian implisitnya. Bagaimana itu dimulai?

Untuk itu, buku ini disusun dalam enam bab. Bab pendahuluan yang ringkas menjelaskan setting awal kemenangan Nazi di Jerman tahun 1933 bersamaan dengan era depresi besar yang melanda dunia. Dengan ini, sebagaimana Mann, ia menerima suatu tesis umum bahwa munculnya fasisme dipicu oleh krisis sosial, ekonomi, dan politik serta perang antarnegara-negara kapitalis. Bab kedua menjelaskan latar belakang ekonomi politik Hindia Belanda, terutama pertumbuhan kapitalisme di Hindia Belanda dan benih-benih nasionalisme di era pergerakan.

Ulasan mengenai dialektika fasisme dengan pergerakan nasional dimulai pada bab ketiga. Di bab ini, ia menjelaskan bagaimana pergerakan kemerdekaan Indonesia mulai berelasi dengan ideologi-ideologi besar dunia. Di sini para pejuang dan intelektual didikan Eropa, terutama Hatta-Syahrir, memainkan peran penting dalam memberikan pandangan-pandangan awal mengenai peta ideologi dan dalam mentransfer kritik ideologis terhadap fasisme.

Dari sini, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai respons politis dari kalangan Hindia Belanda yang terbelah antara yang menerima fasisme dan menolak fasisme. Ulasan menjadi sangat menarik karena mengungkap fakta-fakta otentik mengenai watak politik sejumlah elemen pergerakan Indonesia.

Pada mulanya, mereka yang menerima fasisme terutama berasal dari kalangan Indo-Belanda. Dilihat dari watak politiknya, di Hindia Belanda sendiri terdapat dua jenis organisasi Indo-Belanda, yakni yang propergerakan nasional Indonesia, seperti Indische Partij (IP), Vereeniging voor Spoor-en Tramweg Personeel (VSTP), dan Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV); dan yang kedua adalah yang mendukung pemerintah kolonial, seperti Vederlandsche Club VC dan Indo- Europeesch Verbond (IEV).

Kedua organisasi yang terakhir, VC dan IEV, terjerumus ke dalam ide fasisme sebagai akibat dorongan untuk cepat-cepat ke luar dari krisis yang menggerus privilege dan kenyamanan mereka selama ini. Bentuk paling ekstrem dari organ Indo-Belanda pro-fasis muncul di Solo pada Juni 1933, yakni dengan terbentuknya Anti-Inlander Club yang beranggotakan beberapa keluarga Indo.

Di pihak lain, warga Jerman di Hindia Belanda pada November 1933 mengumpulkan sekitar seribu tanda tangan ”menjatakan setianja pada Rijkanselir Adolf Hitler”. Seluruh dinamik dan semarak menyambut fasisme ini kemudian juga melebar ke kehidupan sehari-hari, pemuda-pemuda Indo-Belanda membentuk barisan-barisan dengan arak-arakan sambil keranjingan meneriakkan slogan heil Hitler.

Akhirnya dari aspirasi sebagian kaum Indo ini, pada tahun 1933 terbentuk tiga partai fasis di Hindia Belanda, yakni Nederlandsch Indische Fascisten Organisatie (NIFO), Fascisten Unie (FU), dan yang terakhir adalah pendirian cabang dari Nationaal Socialistische Beweging pada tahun 1934.

Yang lebih menarik kemudian, buku ini mengungkap, di lingkungan bumiputra juga muncul aspirasi fasis yang secara resmi muncul melalui pendirian Partai Fascist Indonesia pada tahun 1933. Apabila organisasi-organisasi fasis Indo didirikan sebagai bentuk aspirasi terhadap kemunculan Hitler dan harapan mengatasi kebangkrutan ekonomi, Partai Fascist Indonesia (PFI) didirikan oleh Dr Notonindito dengan cita-cita yang aneh, yakni malah hendak kembali arah feodalisme dengan mengusung mimpi-nostalgis kebesaran kerajaan-kerajaan nusantara di masa lampau atau romantisisme-reaksioner.

Akibatnya muncul reaksi keras dari kalangan pergerakan terhadap PFI. Surat kabar Manjala, organ PNI, misalnya, menegaskan bahwa perjuangan rakyat adalah untuk mengubah masa kini, bukannya malah muncur ke belakang (hal 126).

Pada akhirnya, ulasan mengenai pertumbuhan fasisme di Hindia Belanda ditutup dengan penelusuran sikap kaum pergerakan ketika Jepang masuk. Posisi kaum pergerakan mengenai fasisme juga terbelah; Pendidikan Nasional Indonesia di bawah Hatta-Syahrir, Partindo, dan Gerindo melihat fasisme sebagai bahaya bagi gerakan demokrasi di Hindia Belanda, sedangkan Parindra (Partai Indonesia Raya) melihat fasisme Jepang sebagai pembebas bagi Hindia Belanda (hal 2).

Dari modus penyajiannya yang deskriptif, sedari awal sudah terasa bahwa buku ini tidak bermaksud menyediakan deskripsi teoretis yang panjang lebar mengenai apa itu fasisme karena tampaknya ia mengandaikan suatu penerimaan yang terberi (given) dari pembaca mengenai aura ”durjana” yang otomatis tebersit begitu kata fasis disebutkan. Yang menjadi misi utamanya, tampaknya adalah memberikan deskripsi kritis bagaimana fasisme direspons oleh kalangan pergerakan nasional dan betapa kesadaran demokratis zaman itu—sebagai lawan fasisme—dipertahankan oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional dengan kegigihan.

Dengan itu, sangat terasa bahwa kaum pergerakan rupanya tidak hanya sekadar mengejar cita-cita kemerdekaan, lebih jauh dari itu mereka juga hendak sekaligus menjaga cita-cita tersebut hingga selamat dari ujian ideologisnya sehingga kebangsaan Indonesia tidak terjerumus ke dalam malapetaka kemanusiaan karena tergelincir menerima fasisme.

Dengan motif itu, buku Wilson ini menemukan relevansinya dengan keadaan Indonesia kontemporer. Dalam konteks Indonesia masa kini, buah sejarah dari kegigihan kaum pergerakan itu boleh dikata sedang mendapatkan tantangan terberatnya. Indonesia baru saja mengalami demokrasi, tetapi kebencian terhadap demokrasi kini tak kurang maraknya dengan situasi yang pernah digambarkan Hatta dulu.

Sebagaimana klaim fasis, kebencian terhadap demokrasi sekarang juga disertai dengan klaim transenden mengenai masyarakat final, murni dan utuh yang dipimpin oleh suatu doktrin agama. Klaim semacam ini bukan hanya bisa berpotensi menghancurkan demokrasi dan negara bangsa, lebih jauh lagi ia juga bisa mendatangkan persoalan kemanusiaan yang luar biasa.

Hatta pernah mengatakan bahwa fasisme adalah obat yang lebih berbahaya dari penyakit yang hendak disembuhkannya. Bagi kita perumpaan Hatta ini masih bisa berguna hingga sekarang; kita mesti mewaspadai kritik-kritik terhadap demokrasi dan klaim yang menyimpan kebencian terhadap demokrasi. Demokrasi memang sistem penuh borok, tetapi setiap sistem yang dibangun dengan kehendak mematikan demokrasi sudah pasti lebih busuk dari demokrasi yang paling bobrok sekalipun.

(Robertus Robet, Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta, Sekjen Perhimpunan Pendidikan Demokrasi)


Tidak ada komentar: